1. SYECH YUSUF AL –
MAKASARI AL – BANTANI DAN PANGERAN PURBAYA
September, 20 2012
Muhammad Yusuf dilahirkan di Gowa, Sulawesi
Selatan tahun 1627, ayahnya Abdullah Abul Mahasin (sumber lain Pangeran
Ancol/Ang Dian Faleha/Syeikh Samsudin bin Tubagus Angke bin Pangeran Arya
Bundan dari Goa), beliau berguru pada Daeng Ritasammang, kemudian belajar Ilmu
Syari`at Islam dan Tasauf kepada Sayid Ba`Alawi bin Abdullah Al Allamah Ath
Thahir, pada usia 15 Tahun berguru pada Syeikh Jalaluddin Al Aidid, pada usia
18 tahun belajar ke Timur tengah kebetulan kapalnya singgah di Pelabuhan Banten
pada masa kesultanan Syeikh Abu Mafakhir Mahmud Abdul Kadir dimana Islam
berkembang sangat pesat, Syeikh Yusuf berteman akrab dengan Pangeran Surya cucu
dari Sultan Abu Mafakhir Mahmujd Abdul Kadir, demikian pula dengan kerabat
Kesultanan Banten lainnya, sehingga sebelum berangkat ke Arab syeikh Yusuf
singgah dan menetap di Banten kemudian ke Aceh selanjutnya ke Timur tengah
singgah di Yaman untuk berguru pada Syeikh Muhammad Abdul Baqi Al Naqsyabandi
selanjutnya melakukan perjalanan ke Mekkah dan Madinah dan berguru pada
beberapa ulama : Syeikh Ahmad Al – Qusyasyi, Syeik Ibrahim Al – Kurani, serta
Syeik Hasan Al`ajami.
Selanjutnya Syeikh Yusuf menimba Ilmu di
Pusat Pengetahuan pada Zaman tersebut yaitu di Kota Damaskus berguru pada
Syeikh Ayub bin Ahmad bin Ayyub Al Dimasyiqi Al Khalwati, syeikh yusuf
mendapatkan gelar dari gurunya At Tajul Khalwati (Mahkota Khalwati).
Pada tahun 1664 Syeikh yusuf kembali ke
Tanah air dari Makkah, perjalanan pulang kembali ke Tanah air kembali melewati
Banten pada waktu usia Syeikh Yusuf 38 tahun, ketika mendarat di Banten kondisi
situasi di Kesultanan sudah berubah Pangeran Surya yang 15 tahun lalu
ditinggalkan sudah menjadi Sultan Banten dengan gelar Sultan Abul Fathi Abdul
Fattah, masyarakat Banten lebih mengenal dengan sebutan Sultan Ageng Tirtayasa
karena telah membangun kraton di Tirtayasa akibat pertentangan dengan anaknya
Sultan Haji, Respek Sultan Ageng Tirtayasa dan Masyarakat Banten pada saat itu
sungguh luar biasa baik Sultan maupun Rakyat Banten memanggilnya dengan sebutan
Syeikh Muhammad Yusuf Tajul Al Khalwati, karena masyarakat Banten yang pernah
bertemu di Mekkah sudah menyaksikan dan mengenal martabat syeikh Yusuf di
kalangan Ulama di Mekkah, sehingga berita tersebut sampai ke kalangan masyrakat
di Tanah air dan Sultan Banten menginginkan Syeikh Yusuf untuk mengamalkan
Ilmunya di Banten menjadikannya penasehat kesultanan dan sekaligus menjadi
mertuanya karena dinikahkan dengan salah seorang putri Sultan, yaitu Ratu Ayu
Alenggapura bin Sultan Abu Mafakhir Mahmud Abdul Kadir dan diangkat menjadi
Mufti Agung Kesultanan Banten, sehingga Syeikh Yusuf tertahan di Banten.
Walaupun di Gowa Sultan Hasanuddin juga
sedang berperang dengan Kompeni, di Banten Syeikh Yusuf mengadakan pengajian
dengan masyarakat Banten dan menyebarkan ajaran syaria`at islam termasuk
tarekatnya sehingga namanya termasyur di Banten demikian pula kabar
tersebut sampai di Makasar sehingga banyak masyarakat Makasar dan Bugis yang
datang ke Banten untuk belajar ilmu agama pada Syeikh yususf termasuk raja Gowa
Sultan Ali Karaeng Besei (1674-1677) beserta pasukannya sebanyak 400 orang yang
dibuang ke Batavia setelah bebas bergabung dengan Syeikh Yusuf sekaligus
menjadi muridnya. akhirnya Syeikh Yusuf marapatkan barisan dengan Sultan Ageng
Tirtayasa dan Kerabatnya termasuk Pangeran Purbaya, Pangeran Kulon, Pengeran
Kidul, Pangeran Sugiri, serta Pangeran Raden Saleh (Pangeran Sake) bahu membahu
melawan Kompeni VOC. Sementara Pangeran Sugiri walaupun turut berjuang tetapi
sikap pribadinya lebih mengarah sebagai ulama Sufi.
Pada Saat Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa
sama seperti kakeknya sangat taat beribadah dan menerapkan syari`at islam
dengan baik, demikian pula Sultan Ageng Tirtayasa menganut Tarekat Khalwatiyah
untuk memperkokoh dalam memerintah, selain menganjurkan masyarakatnya
untuk berpakaian Arab dimana Pakaian Arab tersebut saat itu seperti layaknya
Pakaian Nasional pada saat ini karena hubungan dangan penguasa di Jazirah
Arab (Syarif) sangat dekat. Perkembangan Banten sangat pesat sehingga Bandar
Banten menjadi Pelabuhan Internasional, berbagai Kapal dari Mancanegara baik
asia dan eropa merapak di Banten, hanya kepada Kompeni VOC yang menerapkan
praktek monopoli Dagang dan sudah terlalu lama menyengsarakan Rakyat Banten
Sultan Ageng Tirtayasa sangat membenci, ketika Musyawarah kesultanan dengan
seluruh kerabat dan Mangkubumi pada tanggal 16 Februari 1671 putra pertama
Sultan yaitu : Pangeran Abdul Kohar diangkat menjadi Putra Mahkota dan pada
saat bersamaan datang surat dari Syarif/Pemegang Kekuasaan tertinggi Islam di
Jazirah Arah yang berisi pemberian Gelar untuk Kesultanan Banten, gelar untuk
Pangeran Abdul Kohar yaitu Sultan Abu Nasr Abdul Kohar, oleh Sultan Ageng
Tirtayasa diberi wewenang untuk mengurus urusan dalam negeri Kesultanan
sehingga Putra mahkota memiliki pembantu – pembantu dan pasukan tersendiri, hal
ini yang menjadikan benih – benih pertentangan antara Sultan Abu Nasr dan
Sultan Ageng Tirtayasa sehingga beliau memindahkan kratonnya ke Tirtayasa,
untuk meredam agar pertentangan tidak berkembang Sultan Ageng Tirtayasa
memerintahkan Sultan Abu Nasr Abdul Kohar untuk melaksanakn Ibadah Haji ke
Mekkah agar kepribadiannya terbentuk dengan baik terlebih lagi sudah diangkat
menjadi Putra Mahkota, untuk sementara kewenangan di kesultanan diserahkan pada
Pangeran Purbaya yang dibandingkan dengan saudaranya memiliki wawasan dan
pengetahuan serta Akhlak yang lebih baik, dengan harapan sekembalinya dari
Ibadah Haji nanti Sultan Abu Nasr mendapatkan pengalaman yang lebih dari
perjalanan ke Tanah Suci yang memakan waktu selama dua tahun serta mengunjungi
beberapa kerajaan Islam yang dapat disinggahi, akan tetapi sekembalinya dari
perjalanan mendapatkan hal yang tidak sesuai dengan harapan karena melihat
kenyataan kewenangannya telah beralih sehingga menimbulkan pertentangan dan
ketegangan yang terjadi antara Sultan Abu Nasr Abdul kohar yang lebih dikenal
dengan sebutan Sultan Haji dengan Pangeran Purbaya demikian pula antara Sultan
Ageng Tirtayasa dengan Sultan Haji, Ketika terjadi persaingan sengit antara Belanda
dan Inggris, dan Sultan Muda yang haji itu berpihak kepada Kompeni, Sultan
Ageng Tirtayasa menyesal, dan berhasrat menguasai tahtanya kembali dibantu
orang-orang Inggris dan Denmark serta Pangeran Purbaya putra bungsunya.
Hal tersebut dimanfaatkan oleh Kompeni VOC
untuk mengadu domba sehingga terjadilah perang saudara dan Sultan Haji meminta
bantuan pihak asing terutama Kompeni VOC dengan Imbalan yang akhirnya mengebiri
kekuasaannya, dimulailah era perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa dibantu dengan Syeikh
Yusuf dan Pangeran Purbaya melawan Kompeni VOC dan Sultan Haji, mula – mula
pertempuran dimulai dengan diserangnya Kraton Surosowan oleh Sultan Ageng
Tirtayasa 27 Februari 1682, Sultan Haji tidak kuasa melawan tentara ayahnya. Ia
mengunci diri dalam istana Kraton Surosowan yang dijaga tentara Kompeni
Belanda. Sehingga Sultan Haji meminta Bantuan pada Gubernur Jendral Kompeni
Belanda di Batavia melalui Kapten Sloot dan W.Caeff, sehingga kompeni
mengirimkan Pasukan Pimpinan Kapten Saint Martin Kapten Francois Tack dan
Kapten Hartsnick, Kapten Jonker terjadi pertempuran hebat mulai dari Kraton
Surosowan, Pelabuahan Banten, Tirtayasa dan Tenara serta Kademangan,
pasukan Banten yang bermarkas di margasana dibombardir dari darat dan laut,
demikian pula di Tangerang sebelah timur sungai angke terjadi pertempuran hebat
selama berbulan bulan, Syeikh Yusuf dan Pangeran Purbaya dengan setia mengawal
Sultan Ageng Tirtayasa sehingga akhirnya terdesak akibat digempur habis –
habisan oleh pasukan gabungan Sultan Haji dan Kompeni, sementara Pasukan Sultan
Ageng Tirtayasa selain pejuang Banten juga tergabung didalamnya Prajurit Gowa
Makasar, Jawa Timur, Cirebon dan Lampung yang relative belum menguasai medan
Pertempuran di Banten karena terdesak sehingga pasukan Sultan Ageng Tirtayasa
menarik diri ke Hutan Keranggan dan melakukan perang gerilya selama satu tahun
selanjutnya mengungsi ke daerah pedalaman lebak dan pasukan terpecah menjadi
dua Bagian : Pangeran Purbaya dan pasukannya kearah pedalaman Tangerang,
sedangkan Syeikh Yusuf, Pangeran Kulon dan Pangeran Kidul dengan sisa
pasukannya bergerak kearah Sajira perbatasan Bogor, dengan berbagai tipu daya
Sultan Haji dan Kompeni berusaha membujul Sultan Ageng Tirtayasa untuk kembali
ke kraton Surasowan, tanpa rasa curiga karena usia yang sudah lanjut serta duka
yang mendalam atas gugurnya Pangeran Kulon tanggal 7 maret 1683, pada tengah
malam 14 maret 1683 Sultan Ageng Tirtayasa bersedia untuk datang ke kraton
Surosowan, beserta dengan pengawalnya, karena rasa kuatir kompeni akan pengaruh
Sultan Ageng Tirtayasa pada sultan Haji maka Sultan Ageng Tirtayasa dibawa ke
Batavia dimasukan ke Penjara dengan penjagaan serdadu kompeni yang sangat
ketat.
Tertangkapnya Sultan Ageng Tirtayasa denga
tipu daya kompeni tidak menyurutkan perjuangan Syeikh Yusuf dan Pengeran
Purbaya justru semakin menambah semangat perjuangannya, dengan harapan
mendapatkan sokongan perjuangan dari kesultanan Cirebon syeikh yusuf beserta
pasukan Banten lainnya menyusuri hutan dan tepi sungai untuk sampai ke Cirebon,
akan tetapi maksud tujuan tersebut sudah terbaca oleh Kompeni VOC maka kompeni
mengirimkan Van Hapel untuk mencegatnya, demikian pula gerak pasukan kearah
Jawa Tengah dicegat karena kompeni Khawatir bergabung dengan Pasukan
Kertasura, oleh karenanya Pasukan Syeikh Yusuf dan Pangeran Purbaya melakukan
perjalanan dengan arah yang berbeda, Pangeran Purbaya dengan pasukan berjumlah
5000 terdiri orang Banten, makasar, Bugis dan melayu bergerak ke arah
Galunggung untuk bergabung dengan Tumenggung Tanubaya, sedangkan Syeikh Yusuf
bergerak ke Cianten lewat jalan Cisarua dan Jampang selanjutnya ke Cilacap
dengan perahu karena dicegat oleh Kapten de Ruys dan Eigel, kemudian menuju
padaherang menyusuri sungai Citandui sambil bergerilya menyerbu benteng – benteng
Kompeni, pada tanggal 25 September 1683 terjadi pertempuran besar-besaran
dimana Pangeran Kidul gugur, pembesar Banten dan makasar yang turut serta
banyak yang gugur, istri syeikh yusuf ditawan beserta putrinya, sementara
syeikh yusuf dapat meloloskan diri menuju daerah mandala Sukapura, untuk
menangkap Syeikh Yusuf kompeni Belanda mengatur strategi licik dangen tipudaya
menjadikan putrinya asmah sebagai Sandera sehingga syeikh yusuf mau melakukan
perundingan sehingga bersedia untuk melakukan perundingan dengan janji – janji
manis yang sudah barang tentu tidak akan dipenuhi seperti halnya tatkala
menangkap sultan Ageng Tirtayasa.
Syeikh Yusuf dan para pengikutnya akhirnya
ditangkap di Segara Anakan pantai Selatan Jawa, Syeikh Yusuf Makassar ditangkap
oleh Van Happel yang menyamar sebagai orang muslim, ketika melakukan
perundingan selanjutnya dibawa ke Cirebon kemudian ke Batavia dan pada tanggal
22 Maret 1684 dibuang ke Srilangka, ketika keluarganya meminta untuk
dikembalikan ke Gowa Kompeni merasa khawatir dengan semangat perjuangan syeikh
yusuf maka membuang Syeikh Yusuf ke Tanjung Harapan Afrika Selatan
ditempatkan di Zandvlet dekat muara sungaiu Eerste, di tempat barunya
menjadikannya sebagai pusat kegiatan Kaum Muslim di Afrika Selatan sampai wafat
pada tanggal 23 Mei 1699 dalam usia 73 tahun dan dikuburkan di suatu tempat
bernama Faure.
Sedikit sekali sejarah Sunda yang
mengisahkan Pangeran Arya Purbaya dari kesultanan Banten dalam perjuangan
melawan penjajahan Belanda. Pangeran Arya Purbaya berusaha mempertahankan
kebesaran Kesultanan Banten dari pihak pedagang VOC yang berusaha ingin
memonopoli perdagangan bahkan berlanjut pada penjajahan. Pangeran Arya Purbaya
adalah salah satu putra dari istri-istri Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682),
yang menjadi penerus mahkota kesultanan yaitu Pangeran Gusti atau Sultan Abu
Nasr Abdul Kahar (1672-1687) yang kelak disebut Sultan Haji. Tanggal 8 Desember
1682 Kacarabuan, Angke dan Tangerang dikuasai VOC, Sultan Ageng bertahan di
Kademangan, tetapi pertahanan akhirnya jatuh juga setelah terjadi pertempuran
sengit, pasukan Kademangan yang dipimpin P. Arya Wangsadiraja akhirnya
mengungsi ke Pedalaman Banten yaitu Ciapus, Pagutan dan Jasinga.
Pada tanggal 28 Desember 1682, Pasukan
Jongker, Michele dan Tack mendesak Keraton Tirtayasa, Sultan Ageng berhasil
menyelamatkan diri dengan terlebih dahulu Pangeran Purbaya membakar Keraton
Tirtayasa untuk menyelamatkan Ayahnya, Sultan Ageng, Pangeran Kulon, Syeikh
Yusuf Makassar mengungsi ke Sajira dan Muncang. Sementara Pangeran Arya Purbaya
dan pasukannya bergerak ke Parijan pedalaman Banten hingga ke Jasinga karena
Pasukan Arya Wangsadireja berlebih dahulu mengungsi ke Jasinga. Sultan Haji
mengirimkan utusan ke Sajira untuk berdamai dan akhirnya pada tanggal 14 Maret
1683 Sultan Ageng Tirtayasa dan Pangeran Arya Purbaya mendatangi Surosowan.
Akibat akal licik VOC dan Sultan Haji, akhirnya Sultan Ageng Tirtayasa
ditangkap dan dibawa ke Batavia untuk diadili. Pangeran Purbaya berhasil
meloloskan diri. Pangeran Perbaya, Pangeran Kulon dan Syeikh Yusuf Makassar
meneruskan perjuangan melawan Kompeni. Syeikh Yusuf bersama Pangeran Kidul dan
pasukan yang berjumlah 5000 orang, 1000 diantaranya Melayu, Bugis, Makassar
yang siap mati bersama gurunya bergerak menuju Muncang terus ke Lawang Taji
(Jasinga) menyusuri Sungai Cidurian kemudian ke Cikaniki terus ke Ciaruteun
melalui Cisarua dan Jampang kemudian meneruskan ke Sukapura dan Mandala dengan
tujuan Cirebon.
Pangeran Purbaya kemudian menyusul bersama
Pangeran Kulon dan Pangeran Sake beserta pasukannya hingga ke Galunggung dan
Singaparna (Tasikmalaya). pelarian Pangerang purbaya dengan kerabatnya Pangeran
Saleh (Sake) beserta 800 pejuang Banten melakukan gerilya di wilayah Cikalong
Bogor Selatan, dengan meminta bantuan untung surapati Kompeni berusaha membujuk
Pangeran Purbaya untuk melakukan perundingan yang selanjutnya penangkapan
dengan tipu daya, selain mengutus untung surapati kompeni memerintahkan Kapten
Kuffeler untuk menangkap Pangeran Purbaya, ketika melihat perlakuan kasar
Kuffeler terhadap Pangeran Purbaya seketika itu juga untung Surapati berbalik
membela Pangeran Purbaya dan menyerang balik Kompeni Belanda sehingga 20 orang
tewas terbunuh, selanjutnya perjuangan dan pertempuran berlajut hingga sampai
ke daerah periangan dan kertasura, dalam pertempuran di Cikalong pada tanggal
28 januari 1684 Pangeran Mohammad Saleh (Pangeran Sake) tertangkap di sukapura,
Pada tanggal 25 September 1683 pasukan Pangeran Kidul dan Pasukan Banten dan
Makassar gugur di Citanduy (Padalarang).
Pangeran Purbaya sempat mempertahankan
pedalaman Banten dan membuat garis batas di Cikeas (antara Banten dan Batavia),
Pangeran Purbaya mempertahankan Banten Selatan. Ia meneruskan perjuangan Syeikh
Yusuf Makassar dan akhirnya Pangeran Purbaya bersama Pangeran Kulon dan
Pangeran Sake gugur dalam pemberontakan di Galunggung (Tasikmalaya).
Sekelumit tentang Pangeran Purbaya dalam
sejarah autentik sangat berjasa dalam mempertahankan Banten dan dipercaya oleh
Sultan Ageng Tirtayasa, Syeikh Yusuf Makassar bahkan pasukan koalisi Makassar,
Bugis dan Melayu. Pangeran Purbaya yang kalau bertempur diilustrasikan
karakternya berubah menjadi Singa yang bertempur dan mencakar cadas hingga
berdarah (diabadikan menjadi nama desa Singabraja, di Daerah Kec. Tenjo,
Bogor). Kemudian ia melanjutkan perjalanan ke Bali (Singa raja) dalam syiar
Islam.
Tapi akhirnya memutuskan untuk kembali ke
Jasinga, tapi ditengah perjalanan Pangeran Purbaya mengalami sakit (parna)
hingga daerah tersebut diberi nama Singaparna, hingga akhirnya wafat di Gunung
Galunggung. Pangeran Purbaya sangat berjasa alam mempertahankan Banten terutama
Banten Selatan.
Pangeran Purbaya berkoalisi dengan Untung
Suropati (Jawa Timur) ia pun membatasi untuk melawan Belanda dengan garis
antara orang-orang Mataram, Batavia dan Sunda yang ada di Cikeas. Itulah jasa
Pangeran Arya Purbaya atau Perbaya atau Purabaya yang tidak bisa kita lupakan
dalam menentang penjajahan Belanda. Demikian jejak perjuangan Syeikh Yusuf
Tajul Khalwati dan Pangerang Purbaya beserta keturunan Kesultanan Banten
lainnya dan pejuang – pejuang Fi Sabilillah yang patut menjadi contoh suri
Tauladan bagi anak cucu khususnya masyarakat Banten.
2. KYAI HAJI TUBAGUS
MUSTAFA DAN TUBAGUS BUANG
Dalam kurun waktu masa kesultanan Sultan
Zainul Arifin, di dalam kraton pun terjadi keributan dan kekacauan
pemerintahan. Sultan sangat dipengaruhi permaisurinya, Ratu Syarifah Fatimah,
Pangeran Syarif Abdullah anak Ratu Fatimah dari suaminya yang terdahulu,
diusulkan menjadi Putra Mahkota. karena desakan Ratu Fatimah pula, Pangeran
Gusti yang seharusnya menjadi putra makota disuruh pergi ke Batavia, yang
kemudian atas suruhan Ratu Fatimah ditengah perjalanan ia ditangkap tentara
kompeni dan diasingkan ke Sailan. (1747), atas pertujuan kompeni akhirnya
Pangeran Syarif Abdullah dinobatkan menjadi Putra Mahkota, dan untuk jasa-jasa
kompeni ini, Ratu Fatimah menghadiahkan sebidang tanah di daerah cisadane dan
hak separuh penghasilan tambang emas di Tulang Bawang, Lampung, kepada
Kompeni. Karena finah istrinya pula akhirnya Sultan Zainal Arifin di tangkap
kompeni, dituduh gila, dan diasingkan ke Ambon sampai meninggal. Sebagai
penggantinya diangkatlah Pangeran Syarif abdullah dengan gelar Sultan
Syarifuddin Ratu Wakil menjadi Sultan Banten, tahun 1750, tapi sebenarnya, Ratu
Fatimah yang memegang kuasa. Kecurangan yang dilakukan Ratu Fatimah ini bagi
rakyat dan sebagian pembesar negeri merupakan suatu penghinaan besar dan
penghianatan yang sudah tidak bisa diampuni lagi, sehingga rakyat pun
mengadakan perlawanan bersenjata. Dipimpin oleh Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang,
mereka menyerbu Surosowan. Menurut sejarah Banten, Tubagus Buang adalah kerabat
Sultan Banten yang berontak terhadap VOC karena telah melakukan intervensi
terhadap kesultanan Banten. Tubagus Buang berjuang bersama Kyai Tapa yang tak
lain adalah kerabatnya, pemberontakan Tubagus Buang dan Kyai Tapa berawal dari
rakyat Banten yang dikhianati oleh Ratu Syarifah yang bersekutu dengan VOC.
Ratu Syarifah adalah istri dari Sultan Muhammad Syifa Zainul Arifin
(1733-1750). Sebelumnya Ratu Syarifah adalah seorang janda dari pegawai VOC di
Batavia, Diangkatnya Pangeran Syarif Abdullah sebagai Sultan Banten atas
persetujuan Belanda, hal ini membuat kemarahan bagi kerabat kesultanan dan
rakyat Banten yang tidak setuju dengan pengangkatan sultan baru.
Kiai Tapa dan pengikutnya
mengajukan Ratu Bagus Buang untuk menggantikan Sultan Muhammad Syifa
Zainul Arifin, secara kekerabatan Tubagus Buang adalah keponakan dari
Sultan tapi mendapat rintangan dari Kompeni yang turut serta dalam urusan Sultan
Banten. Hal ini membuat rakyat marah dan melakukan pemberontakan. Ia
beserta Tubagus Angke dan pengikutnya mengundurkan diri ke
pedalaman, kemudian ke daerah Jasinga dan Ciampea. Pasukan Banten
menyerang pasukan Belanda yang bertahan di sana.
Belanda mengalami kekalahan dan dengan
bantuan pasukan dari Tangerang kemudian menyerang pasukan-pasukan
Kiai Tapa dan Ratu Bagus Buang. Pasukan-pasukan Banten berkumpul dan
bertahan di daerah Cibeteung dekat Kahuripan dan Belanda kalah lagi.
Kemudian Kiai Tapa maju ke Gunung Munara, menyeberang Kali Cisadane
dekat Parung batang kemudian menuju Batavia melalui Bogor dan
Tangerang, kompeni di dalam benteng mulai panik mendengar kabar
penyerangan dari pasukan Banten ini lalu memperkuat pertahanannya di
Tangerang dan Tanah Abang.
Kiai Tapa berbelok ke selatan
menyerang pertahanan Belanda di Jampang, dalam penyerangan tersebut
pasukan perlawanan di bagi dua, sebagian langsung menyerang Kota Sorosowan dan
sebagian lagi mencegat bantuan pasukan Kompeni dari Batavia. Ratu Bagus Buang
dengan pasukan yang besar menyerbu dari arah barat, yang memaksa pasukan Ratu
Fatimah hanya mampu bertahan di Benteng Sajam, sedangkan pasukan KI Tapa yang
mencegat pasukan kompeni dari Batavia, melalui pertempuran hebat, mereka dapat
menghancurkan pasukan kompeni. Bahkan apabila tidak segera datang pasukan baru
dari negeri Belanda, Batavia pun mungkin dapat direbut pasukan Ki Tapa. Karena
pasukan bantuan dari Negeri Belanda pulalah akhirnya pasukan pejuang dapat
dipukul mundur. demikian juga pengepungan Surosowan dapat dibuyarkan.
Bersamaan dengan peristiwa ini, VOC dengan
Gubernur Jenderal baru Jacob Mossel, sedang mengalami kemunduran dalam
kemampuan militernya. Pada bulan November 1750, suatu pasukan gabungan
kesultanan Banten dan VOC yang berjumlah 800 orang, dipukul mundur oleh kaum
pemberontak yang jumlahnya jauh lebih besar (diperkirakan 7000 orang). Sejumlah
30 orang opsir dan prajurit bule terbunuh mati dalam pertempuran tersebut.
Pasukan VOC masih bisa mempertahankan bentengnya, tapi sebagian besar wilayah
Banten jatuh ketangan musuh. Pemberontakan lalu merembet sampai perbatasan
Batavia yang membuat penduduk kota besar VOC ini ketar-ketir karena merasa
takut akan datangnya pasukan Islam yang katanya akan melakukan pembunuhan
besar-besaran warga Eropah.
Rupanya pimpinan VOC di Batavia melihat
bahwa kuatnya kaum pemberontak ini karena tidak adilnya pimpinan istana
Banten.Untuk memenangkan Rakyat Banten, Gubernur Jendral Kompeni yang baru,
Mossel, segera memerintahkan wakilnya di Banten untuk segera menangkap Ratu
Syarifah Fatimah dan Sultan Syarifuddin. Ratu Sarifa dan kemenakannya tersebut
yang lalu dibuang kepulau Edam (jajaran pulau 1000). Ratu Fatimah selanjutnya
diasingkan ke Saparua dan Sultan Syarifuddin ke Banda. Belanda mengangkat Pangeran
Arya Adisantika, adik Sultan Zainul Arifin, menjadi wakil raja dan
mengembalikan Pangeran Gusti dari tempat pengasingannya, walaupun kompeni telah
mengambalikan Pangeran Gusti dan bahkan menangkap Ratu Fatimah, namun
perlawanan rakyat Banten tidak mereda. Barisan rakyat di pimpin oleh Ki Tapa
dan Ratu Bagus Buang sering mengadakan serangan mendadak sekitar Ibukota
Surosowan.
Dengan kemampuan maksimal, pada tahun 1751
dikirimlah sebanyak 1000 orang serdadu bule dan 350 serdadu pribumi (sebagian
besar orang Madura) untuk menumpas habis pemberontakan. Serbuan ke Banten ini
mengakibatkan pasukan pemberontak meninggalkan kota dan bergerilya diluar kota.
Mereka melakukan pembakaran rumah-rumah dan perkebunan orang Eropah dan
melakukan penyerangan pos-pos pasukan VOC. Namun seperti biasa, pertahanan kaum
pemberontakpun bisa dipatahkan oleh VOC.
Kubu pertahanan utamanya bisa direbut pada
bulan September 1751. Kiai Tapa dan Ratu Bagus Buang berhasil menyelamatkan
diri, pasukan pejuang kemudian menyingkir ke Gunung Munara di Ciampea,
Bogor. Melalui serangan yang berkali-kali barulah Gunung Munara dapat dikuasai
kompeni. Sehingga Ki Tapa dan pasukannya pindah ke daerah Bogor dan Banten
Selatan. Sementara di Surosowan, kompeni mengangkat Pangeran Arya Adi Santika
menjadi Sultan Banten dengan gelar Sultan Abul Ma’ali Muhammad Wasi “Zainul
Alimin” pada tahun 1572, dan Pangeran Gusti ditetapkan sebagai Putra Mahkota.
Tapi dengan pengangkatan itu Sultan Abul Ma’ali harus menandatangani perjajian
dengan kompeni yang isinya sebagai berikut :
1.
Banten di bawah kuasa penuh Kompeni Belanda
walaupun pemerintah tetap ditangan Sulatan.
2.
Sultan akan mengirim utusan ke Batavia
setiap tahun sampai membawa upeti lada yang jumlahnya ditetapkan kompeni.
3.
Hanya Kompeni Belanda yang boleh mendirikan
Benteng di Banten.
4.
Banten hanya boleh menjual kopi dan tebu
kepada kompeni saja.
5.
Sejalan dengan bunyi pasal 4, banyaknya
produksi kopi dan tebu di Banten haruslah ditentukan kompeni.
Mengetahui tetang pasal-pasal perjajian
kompeni ini, beberapa Pangeran pembesar keraton lainnya menjadi gusar, demikian
juga dengan Pangeran Gusti. Rakyat kembali mengangkat senjata mengadakan
perlawanan, dan kembali mengadakan hubungan dengan Ki Tapa dan ratu Bagus Buang
dipedalaman. Pasukan penentang mengadakan serangan serentak ke kota Surosowan
Ki Tapa, Ratu Bagus Buang dan pasukannya menyerang dari luar sedangkan rakyat
yang dipimpin Pangeran dan ponggawa Banten mengadakan pengacauan di dalam kota.
Terjadilah pertempuran hebat di daerah Caringin dan Kota Surosowan, dengan
susah payah Belanda akhirnya berhasil melumpuhkan serangan-serangan tersebut.
akhirnya dengan beberapa ratus pengikutnya Ki Tapa berencana pergi ke Jawa
Timur untuk bergabung dengan para pejuang disana. Kiai Tapa dan pasukannya
menyerang setiap daerah yang dilaluinya dan selalu menang. Tanggal 21
Agustus 1753, Kiai Tapa dan pasukannya melewati Bandung,
kemudian menuju Parakanmuncang (dengan bantuan Tumenggung
Wiratanubaja).
Disini pasukan Belanda menghadangnya
namun dapat dikalahkan, Kiai Tapa dan pasukannya terus maju hingga
mereka kekurangan bahan-bahan dan prajurit-prajuritnya mengalami
penderitaan,sehingga memaksakannya mengundurkan diri ke arah
pedalaman Gunung Galunggung dan tidak diketahui oleh Belanda.Akhirnya Kiai
Tapa menerobos ke arah timur untuk bergabung dengan pergerakan-pergerakan
anti Belanda di daerah Banyumas, kabarnya tidak terdengar lagi,
kemungkinan besar Kiai Tapa di zaman Pangeran Diponegoro
bergerak, tentunya dalam keadaan lanjut usia.
Namanya diabadikan sebagai nama jalan
di daerah Tomang, Jakarta. Nama asli Kyai Tapa (Kyai Mustafa) adalah Thung
Siang Toh lahir di Tiongkok. alias Pangeran Mustofa Abdul Ha, menurut salah
satu sumber dari keluarga Kyai Tubagus Mustafa (Kyai Tapa) adalah saudara
seayah dari Sultan Muhammad Syifa Zainul Arifin, sedangkan Ratu Bagus
Buang sampai 1757 masih tetap mengadakan perlawanan di Banten. Karena adanya
perlawanan rakyat itu pulalah, enam bulan kemudian, Sultan Abul Ma’ali Muhammad
Wasi Zainul Alamin menyerahkan kekuasaannya kepada Pangeran Gusti. Maka pada
tahun 1753 Pangeran Gusti dinobatkan menjadi Sultan dengan Gelar Abu’l Nasr
Muhammad Arif Zainul Asiqin. makam Tubagus Buang berada di kompleks pemakaman
Pagutan Jasinga. Ada pula yang menunjukkan makamnya terletak di pemakaman
Kampung Kandang (kurang lebih 500 meter dari Pagutan).