Kaderisasi Ulama Pondok Pesantren

Posted on March 03, 2010 by Abah

Sejak awal pertumbuhannya pondok pesantren memiliki fungsi antara lain: pertama menyiapkan santri mendalami dan menguasai ilmu agama Islam atau lebih dikenal dengan tafaqquh fiddin yang diharapkan dapat mencetak kader-kader ulama dan turut mencerdaskan masyarakat Indonesia, kedua dakwah menyebarkan agama Islam, dan ketiga sebagai benteng pertahanan umat dalam bidang akidah dan akhlak
Seiring dengan perkembangan zaman, fungsi pondok pesantrenpun berubah. Pondok pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga keagamaan, tetapi juga berfungsi sebagai pusat perkembangan masyarakat di berbagai sektor kehidupan.
Melalui proses yang dikembangkannya, internalisasi agama Islam kepada santri berjalan penuh. Dalam pesantren dengan pimpinan dan keteladanan para kiyai dan para ustadz serta pengelolaan yang khas, tercipta satu komunikasi tersendiri yang di dalamnya terdapat semua aspek kehidupan mulai dari pendidikan, ekonomi, budaya, dan organisasi.
Dalam perjalanannya hingga sekarang, sebagai lembaga sosial dan keagamaan , pesantren telah banyak melahirkan tokoh-tokoh penting yang berperan aktif dalam berbagai sektor kehidupan. Untuk kasus Banten, pada awalnya kiyailah yang banyak memegang peranan penting dalam mengendalikan roda pemerintahan. Hal ini bisa kita lihat pada sosok K.H. Achmad Khatib sebagai residen Banten, Brigjen K.H. Syam’un (Bupati Serang), K.H. Abdul Halim (Bupati Pandeglang). Di era sekarangpun tokoh dan alumni pesantren banyak juga yang terlibat di sektor publik, baik di legeslatif maupun eksekutif. Hal ini bisa kita lihat pada sosok K.H. Fathullah Syam’un (Ketua DPRD Kota Cilegon), K.H. Sadeli Karim (Wakil Ketua DPRD Provinsi Banten), H. Taufik Nuriman (Bupati Serang), H. Makmun Syahroni (Mantan Dandim Serang). Karena itu peran mereka di samping wakil rakyat atau pengendali pemerintahan, mereka juga merangkap sebagai mubaligh yang kerap diundang untuk menyampaikan pesan-pesan agama.
Dengan demikian, sumbangsih pesantren dengan kiyainya terhadap perubahan sosial, budaya dan kemasyarakatan di Banten tidaklah kecil. Dan Banten secara terus terang berutang jasa pada para ulamanya yang dengan keilmuan dan kealimannya telah ikut mengangkat daerah ini hingga dikenal di tingkat nasional bahkan internasional.
Namun sayangnya keberadaan pesantren dalam perjalanannya kerap kali dipandang sebelah mata. Citra pesantren di masyarakat, khususnya masyarakat kota adalah lembaga pendidikan yang sistem pendidikannya tidak signifigikan dalam mengembangkan pemahaman dan tidak menciptakan lulusan yang memiliki pemikiran yang kritis dan visioner. Sehinggan lulusan pesantren dianggap tidak bisa mengimbangi segala bentuk aspek kehidupan di dunia nyata, karena dianggap apa yang diajarkan dalam pesantren tidak relevan bagi pesatnya kemajuan zaman.
Sistem pendidikan yang terisolir, menjadikan santri tidak mengetahui informasi dunia luar pesantren. Karena sifatnya yang mengisolir, seakan tercipta dua dunia yaitu dunia pesantren dan dunia luar pesantren. Dunia luar pesantren yang bersifat heterogen dan dinamis, sulit dipahami bagi santri yang dalam kehidupan di pesantren selalu berkutat mempelajari ajaran agama yang cenderung tetap dan statis.
Salah satu masalah yang menghantui umat Islam khususnya kalangan pesantren adalah: bagaimana bisa hidup sesuai tuntutan ajaran agama di satu sisi, tetapi di sisi lain juga terus bisa mengikuti perubahan dunia yang terus berkembang? Bagaimana agar bisa terus menyesuaikan diri dengan perubahan, tetapi tetap sebagai muslim yang baik? Bagaimana menjadi tradisional (yang menjaga kemurnian agama), tapi juga sekaligus menjadi modern.
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang harus dijawab kalangan pesantren. Dengan demikian pesantren masa depan adalah pesantren yang sanggup menghadapi berbagai perubahan yang terjadi di masyarakat dan mampu menjawab tantangan zamannya. Begitu juga ulama yang diperlukan pada masa kini dan masa mendatang tidak sama dengan ulama yang telah dilahirkan masa lalu, baik kualifikasi maupun kapabilitasnya. Karena itu dengan tidak bermaksud mengingkari prestasi pesantren yang telah berhasil mencetak kiyai dan ulama pada masa lalu, tentu saja untuk saat ini ia tidak dapat bertahan terus dengan sistem pendidikan dan pengajarannya seperti puluhan tahun yang lalu. Hal ini dimaksudkan jika pesantren tersebut tidak bermaksud mencetak kiyai dan ulama yang terlambat lahir.
Untuk mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas Pekapopontren Kanwil Departemen Agama bekerja sama dengan beberapa pesantren yang ada di wilayah Banten menggelar daurah keulamaan yang dilaksanakan mulai tanggal 3 -17 Februari 2008, di Kecamatan Cimarga, Kabupaten lebak. Acara ini dibuka langsung Mentri Agama pada 2 Februari 2008 sekaligus berbarengan dengan gebyar santri dan pencanangan penulisan mushaf al-Qur’an al-Bantani.
Melalui acara daurah, peserta diberi pembekalan selama tiga hari meliputi berbagai materi: Wawasan keulamaan, Perundang-undangan kehidupan beragama, Fiqh dan Pranata Sosial, Kepemimpinan, Sosiologi Pedesaan, Komunikasi efektif, dan pemecahan problematika keagamaan dan kemasyarakatan. Setelah itu selama 12 hari, 80 peserta yang merupakan utusan dari beberapa daerah di Indonesia antara lain Sumatra Selatan, DKI Jakarta, Bali, NTT, Lampung, Bangka Belitung, Maluku, Maluku Utara, dan Banten akan diterjunkan ke masyarakat pada 12 Desa yang ada di Kecamatan Cimarga. Pelatihan ini mengikuti pola Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang biasa di laksanakan perguruan tinggi.
Dengan daurah ini nantinya diharapkan para peserta memiliki kapabilitas dan wawasan keulamaan serta kader ulama pesantren yang mampu merespon berbagai masalah yang muncul dan berkembang di masyarakat. Juga terciptanya iklim kaderisasi yang berkelanjutan pada latar pendidikan pesantren yang terjadi secara siklikal sehingga masalah krisis kaderisasi ulama dapat teratasi. (*)

Sumber : Radar Banten2006