Cagar Alam Rawa Danau Padarincang

May, 08 2013

Rawa Danau adalah salah satu tempat wisata di Provinsi Banten. Keindahannya akan memikat mata wisatawan yang mengunjungi tempat ini. Banyak sekali touring atau kelompok sepeda yang mendatangi tempat ini. Selain karena keindahan alamnya, tempat ini juga termasuk tempat wisata yang unik karena terdapat rawa-rawa yang ditumbuhi banyak pepohonan. Cagar Alam Rawa Danau mempunyai kawasan konservasi endemis seluas 2.500 ha yang ditumbuhi oleh berbagai jenis pohon, dalam bentuk rawa pegunungan satu-satunya yang ada dan masih tersisa di Pulau Jawa.
Pulau ini menjadi tempat bersarang bagi aneka jenis binatang reptil, seperti ular dan buaya. Tidak kurang dari 250 jenis burung bermukim di kawasan ini. Wisatawan dapat menikmati keindahan cagar alam ini dari areal perbukitan di Kampung Panenjoan, Desa Luwuk, Kecamatan Gunung Sari, Kabupaten Serang.
Cagar Alam Rawa Danau
Wisatawan dapat mencapai lokasi ini melalui tiga jalur, yaitu; Jakarta-Cilegon-Anyer-Rawa Danau, Jakarta-Serang-Padarincang-Rawa Danau, dan Jakarta-Serang-Anyer-Cinangka-Padarincang-Rawa Danau.
(No) flashback
Kawasan hutan Rawa Danau ditetapkan sebagai Cagar Alam (Natuurmonument) berdasarkan GB tanggal 16 November 1921 No. 60 Stbl. 683. dan diperkuat dengan Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dan Perda Kabupaten Serang No. 2 Tahun 1994 tentang Pola Dasar Kabupaten Serang yang menetapkan Rawa Danau sebagai Cagar Alam. Secara administrasi pemerintahan Cagar Alam Rawa Danau terletak di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Padarincang, Kecamatan Pabuaran, dan Kecamatan Mancak, Kabupaten Serang. Sedangkan secara geografis terletak pada 6°8’ - 6°11’ LS dan 105°56’ - 106°04’ BT.
Topografi di dalam kawasan umunya relatif datar dan hanya di bagian utara terdapat bukit kecil, yaitu Gunung Jamungkal seluas ±8 ha dengan ketinggian 150 m di atas permukaan laut. Hampir setiap saat sebagian besar kawasan terendam air dengan kedalaman rawa bervariasi antara  2-10 m. (BBKSDA)
Cagar Alam Rawa Danau
Sebagian wilayah berupa rawa dan danau, kecuali di bagian utara terdapat  bukit kecil, yaitu Gunung Jamungkal seluas ±8 ha dengan ketinggian 192 m di atas permukaan laut. Hampir setiap saat sebagian besar kawasan hutan tanahnya terendam air dengan kedalaman rawanya bervariasi dari 2-10 m. (Kompasiana)
Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, iklim kawasan ini termasuk tipe B dengan nilai Q ±10,8. Bulan kering terjadi pada Juli-Agustus, sedangkan bulan basah terjadi pada September-Juni dengan temperatur rata-rata 17°C-25°C. Jenis tanah pada bagian barat kawasan ini termasuk regosol dengan bahan induk abu dan tufvulkan masam. Fisiografi berwarna kelabu, pasir, berlumpur pejal, gembur dan peka erosi. Sedangkan pada bagian timur dari kawasan Cagar Alam rawa Danau adalah jenis latosol dengan bahan induk tuf vulkan masam berwarna merah, liat berat, remah, dan gembur.
Cagar Alam Rawa Danau termasuk tipe ekosistem rawa air tawar pegunungan, dengan jenis tumbuhan berkayu yang mendominasi yaitu jajaway (Ficus retusa), gagabusan (Alstonia spatulata), mareme (Glochidion lucididum), rengas (Gluta rengas) dan kisireum (Eugenia spicata), sedangkan tumbuhan bawah yang mendominasi adalah jenis rumput-rumputan (Gramineae sp.)
Cagar Alam Rawa Danau
Jenis-jenis satwa yang ada di dalam kawasan diantaranya bangau tong tong (Leptoptilos javanicus), kuntul kerbau (Bubulcus ibis), raja udang biru (Halcyon chloris), kuntul putih (Ardeola sp.), elang ular (Spilornis cheela), ular sanca (Phyton reticulatus), kera (Macaca fascicularis), lutung (Trachypitechus auratus), bajing tanah (Lariscus insignis), kalong (Pteropus vampirus), biawak (Varanus salvator) dan kura-kura (Tryonix certilangineus).
Cagar Alam Rawa Danau dapat dijangkau melalui jalur Bandung-Bogor-Rangkasbitung-Cimeong (±321 km), dari Cimeong-Padarincang sejauh 4 km, dari Desa Citasuk ke Kampung Ranca Sumur lokasi dapat ditempuh dengan jalan kaki dan dilanjutkan dengan menggunakan perahu kecil.
Present
Berbagai keunikan dan kekhasan terdapat pada ekosistem Cagar Alam Rawa Danau. Saat ini kawasan tersebut merupakan salah satu ekosistem rawa tropis yang mulai langka di dunia. Rawa Danau juga menyediakan sumber air yang sangat potensial bagi masyarakat disekitarnya. Keunikan lainnya adalah cagar alam ini diapit langsung oleh pantai dan perbukitan sehingga berfungsi sebagai reservoir alami. Setelah menampung air dari 17 sungai kecil, air kemudian dialirkan melalui Sungai Cidano yang bermuara di Pantai Pasauran.
Cagar Alam Rawa Danau
Fungsi Daerah Aliran Sungi Cidano sangat vital dalam penyediaan air bagi warga Serang dan Cilegon serta industri di Cilegon. Pertimbangan perlindungan fungsi hidrologis kawasan hutan serta perlindungan flora dan fauna endemik, senada dengan kepentingan preservasi daerah tangkapan air, perlindungan hutan hujan tropis melatarbelakangi pencagaran kawasan Rawa Danau. Sesuai dengan fungsinya, cagar alam dapat dimanfaatkan untuk penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan kegiatan penunjang budidaya. Saat ini industri di Kota Cilegon, PDAM Kabupaten Serang dan PDAM Kota Cilegon banyak memanfaatkan air dari daerah ini, sehingga kelestarian kawasan Cagar Alam Rawa Danau sangat penting sebagai penyangga kepentingan kehidupan masyarakat sekitar.
Pesona yang dimiliki Rawa Danau berupa danau yang berada di kaki bukit atau pegunungan. Jika matahari bersinar terang, akan tampak rawa di kejauhan. Hamparan air yang tampak menghijau, di sekitarnya tumbuh beraneka jenis tumbuhan air.
Tetapi pada sore hari atau kala sinar matahari mulai berkurang, yang tampak hanyalah hamparan kabut putih menutupi danau tersebut. Meski tak bisa melihat apa-apa, selain hamparan kabut yang mirip gumpalan kapas, namun kesejukan membuat wisatawan betah berlama-lama di sini.

Panenjoan adalah salah satu tempat beristirahat yang berada di ketinggian. Artinya, danau yang akan dilihat berada jauh di bawah kaki wisatawan. Seolah-olah sedang berdiri di atas sebuah tebing.
Di sekitar tempat peristirahatan sudah disediakan beberapa kursi untuk beristirahat sambil menatap rawa danau yang berkilau-kilau. Warung-warung penyedia makanan juga sudah hadir di sini. Di sebelahnya terdapat sebuah villa.
Villa tersebut sengaja dibangun tinggi, menghadap ke arah Rawa Danau. Sehingga bisa berdiri di teras depan villa sambil melayangkan pandangan ke Rawa Danau. Kicau burung dan gemirisik dedaunan merupakan instrumen yang bisa dinimati setiap saat dari atas villa ini.

Sumber: www.jalanjalanindonesia.com

Perjalanan Sang Ulama Banten


January, 30 2013


Kemasyhuran dan nama besar Syeikh Nawawi al-Bantani kiranya sudah tidak perlu diragukan lagi. Melalui karya-karyanya, kira-kira mencapai 200-an kitab, ulama kelahiran Kampung Tanara, Serang, Banten, 1815 M ini telah membuktikan kepada dunia Islam akan ketangguhan ilmu ulama-ulama Indonesia.
Para ulama di lingkungan Masjidil Haram sangat hormat kepada kealimannya. Bahkan ketika Syeikh Nawawi berhasil menyelesaikan karyanya Tafsir Marah Labid, para ulama Mekkah serta merta memberikan penghormatan tertinggi kepadanya. Pada hari yang telah ditentukan para ulama Mekah dari berbagai penjuru dunia mengarak Syeikh Nawawi mengelilingi Ka`bah sebanyak tujuh kali sebagai bukti penghormatan mereka atas karya monumentalnya itu.
Nama Imam Nawawi begitu dominan, terutama dalam lingkungan ulama-ulama Syafi’iyah. Beliau sangat terkenal kerana banyak karangannya yang dikaji pada setiap zaman dari dahulu sampai sekarang. Nama ini adalah milik Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syirfu an-Nawawi yang dilahirkan di Nawa sebuah distrik di Damaskus Syiria pada bulan Muharram tahun 631 H.
Pada penghujung abad ke-18 lahir pula seseorang yang bernama Nawawi di Tanara, Banten. Nama lengkapnya adalah Syeikh Muhammad Nawawi bin Umar ibnu Arabi bin Ali al-Jawi al-Bantani. Anak sulung seorang ulama Banten, lahir pada tahun 1230 H/1814 M di Banten dan wafat di Mekah tahun 1314 Hijrah/1897 Masehi.
Ketika kecil, sempat belajar kepada ayahnya sendiri, kemudian memiliki kesempatan belajar ke tanah suci. Datang ke Mekah dalam usia 15 tahun dan meneruskan pelajarannya ke Syam (Syiria) dan Mesir. Tidak diketahui secara pasti, berapa lama Imam Nawawi mengembara keluar dari Mekah kerana menuntut ilmu hingga kembali lagi ke Mekah. Keseluruhan masa tinggal di Mekah dari mulai belajar, mengajar dan mengarang hingga sampai kemuncak kemasyhurannya lebih dari setengah abad lamanya.
Karena Syeikh Nawawi yang lahir di Banten ini juga memiliki kelebihan yang sangat hebat dalam dunia keulamaan melalui karya-karya tulisnya, maka kemudian ia diberi gelar Imam Nawawi kedua (Nawawi ats-Tsani). Orang pertama memberi gelar ini adalah Syeikh Wan Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani. Gelar ini akhirnya diikuti oleh semua orang yang menulis riwayat ulama asal dari Banten ini. Sekian banyak ulama dunia Islam sejak sesudah Imam Nawawi pertama, Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syirfu (wafat 676 Hijrah/1277 Masehi) hingga saat ini, belum pernah ada orang lain yang mendapat gelaran Imam Nawawi kedua, kecuali Syeikh Nawawi yang kelahiran Banten (Imam Nawawi al-Bantani).
Meskipun demikian masyhurnya nama Nawawi al-Bantani, namun Beliau adalah sosok pribadi yang sangat tawadhu’. Terbukti kemudian, meskipun Syeikh Nawawi al-Bantani diakui alim dalam semua bidang ilmu keIslaman, namun dalam dunia tarekat para sufi, tidak pernah diketahui Beliau pernah membaiat seorang murid pun untuk menjadi pengikut thariqah. Hal ini dikarenakan, Syeikh Ahmad Khathib Sambas (Kalimantan), guru Thariqah Syeikh Nawawi al-Bantani, tidak melantiknya sebagai seorang mursyid Thariqat Qadiriyah-Naqsyabandiyah. Sedangkan yang dilantik ialah Syeikh Abdul Karim al-Bantani, sepupu Syeikh Nawawi al-Bantani, yang sama-sama menerima thariqat itu dari Syeikh Ahmad Khathib Sambas. Tidak diketahui secara pasti penyebab Nawawi al-Bantani tidak dibaiat sebagai Mursyid. Syeikh Nawawi al-Bantani sangat mematuhi peraturan, sehingga Beliau tidak pernah mentawajuh/membai’ah (melantik) seorang pun di antara para muridnya, walaupun sangat banyak di antara mereka yang menginginkan untuk menjalankan amalan-amalan thariqah.
Guru-gurunya
Di Mekah Syeikh Nawawi al-Bantani belajar kepada beberapa ulama terkenal pada zaman itu, di antara mereka yang dapat dicatat adalah sebagai berikut: Syeikh Ahmad an-Nahrawi, Syeikh Ahmad ad-Dimyati, Syeikh Muhammad Khathib Duma al-Hanbali, Syeikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Maliki, Syeikh Zainuddin Aceh, Syeikh Ahmad Khathib Sambas, Syeikh Syihabuddin, Syeikh Abdul Ghani Bima, Syeikh Abdul Hamid Daghastani, Syeikh Yusuf Sunbulawani, Syeikhah Fatimah binti Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani, Syeikh Yusuf bin Arsyad al-Banjari, Syeikh Abdus Shamad bin Abdur Rahman al-Falimbani, Syeikh Mahmud Kinan al-Falimbani, Syeikh Aqib bin Hasanuddin al-Falimbani dan lain-lain.
Murid-muridnya
Syeikh Nawawi al-Bantani mengajar di Masjidil Haram menggunakan bahasa Jawa dan Sunda ketika memberi keterangan terjemahan kitab-kitab bahasa Arab.
Murid-muridnya yang berasal-dari Nusantara banyak sekali yang kemudian menjadi ulama terkenal. Di antara mereka ialah, Kiai Haji Hasyim Asy’ari Tebuireng, Jawa Timur; Kiai Haji Raden Asnawi Kudus, Jawa Tengah; Kiai Haji Tubagus Muhammad Asnawi Caringin, Banten; Syeikh Muhammad Zainuddin bin Badawi as-Sumbawi (Sumba, Nusa Tenggara); Syeikh Abdus Satar bin Abdul Wahhab as-Shidqi al-Makki, Sayid Ali bin Ali al-Habsyi al-Madani dan lain-lain. Tok Kelaba al-Fathani juga mengaku menerima satu amalan wirid dari Syeikh Abdul Qadir bin Mustafa al-Fathani yang diterima dari Syeikh Nawawi al-Bantani.
Salah seorang cucunya, yang mendapat pendidikan sepenuhnya dari Nawawi al-Bantani adalah Syeikh Abdul Haq bin Abdul Hannan al-Jawi al-Bantani (1285 H./1868 M.- 1324 H./1906 M.). Banyak pula murid Syeikh Nawawi al-Bantani yang memimpin secara langsung barisan jihad di Cilegon melawan penjajahan Belanda pada tahun 1888 Masehi. Di antara mereka yang dianggap sebagai pemimpin perlawanan Perjuangan di Cilegon ialah Haji Wasit, Haji Abdur Rahman, Haji Haris, Haji Arsyad Thawil, Haji Arsyad Qasir, Haji Aqib dan Tubagus Haji Ismail. Para ulama pejuang bangsa ini adalah murid Syeikh Nawawi al-Bantani yang dikader di Mekkah.