Kian Santang

December, 31 2012

GODOG adalah sebuah daerah pedesaan yang indah dan nyaman, berjarak 10 km kearah timur dari puseur dayeuh Garut. Tepatnya di Desa Lebakagung, Kecamatan Karangpawitan, Kabupaten Garut. Disana terdapat makam Prabu Kiansantang atau yang dikenal dengan sebutan Makam Godog Syeh Sunan Rohmat Suci. Hampir setiap saat banyak masyarakat yang ziarah, terlebih di bulan-bulan maulud
Prabu Kiansantang atau Syeh Sunan Rohmat Suci adalah salah seorang putra keturunan raja Pajajaran, Prabu Siliwangi, dari prameswarinya yang bernama Dewi Kumala Wangi (Nyi Subang Larang). Kian Santang lahir tahun 1315 Masehi di Pajajaran, mempunyai dua saudara, bernama Dewi Rara Santang dan Walang Sungsang.
Pada usia 22 tahun, tepatnya tahun 1337 Masehi, Kiansantang diangkat menjadi dalem Bogor kedua yang saat itu bertepatan dengan upacara penyerahan tongkat pusaka kerajaan dan penobatan Prabu Munding Kawati, putra Sulung Prabu Susuk Tunggal, menjadi panglima besar Pajajaran. Guna mengenang peristiwa sakral penobatan dan penyerahan tongkat pusaka Pajajaran tersebut, maka ditulislah oleh Prabu Susuk Tunggal pada sebuah batu, yang dikenal sampai sekarang dengan nama Batu Tulis Bogor. Peristiwa itu merupakan kejadian paling istimewa di lingkungan Keraton Pajajaran dan dapat diketahui oleh kita semua sebagai pewaris sejarah bangsa, khususnya Jawa Barat.
Kiansantang merupakan sinatria yang gagah perkasa. Konon tak ada yang bisa mengalahkannya. Sejak kecil sampai dewasa, yaitu berusia 33 tahun, tepatnya tahun 1348 Masehi, Kiansantang belum pernah tahu seperti apa darahnya. Dalam arti, belum ada yang menandingi kegagahannya dan kesaktiannya. Sering kali dia merenung seorang diri, memikirkan dimana ada orang gagah dan sakti yang dapat menandingi kesaktian dirinya. Akhirnya Prabu Kiansantang memohon kepada ayahnya supaya mencarikan seorang lawan yang dapat menandinginya.
Sang ayah memanggil para ahli nujum untuk menunjukkan siapa dan dimana ada orang gagah dan sakti yang dapat menandingi Kiansantang. Namun tak seorangpun yang mampu menunjukkannya. Tiba-tiba datang seorang kakek yang memberitahu bahwa orang yang dapat menandingi kegagahan Prabu Kiansantang adalah Sayyidina Ali, yang tinggal jauh di Tanah Mekah. Sebetulnya pada waktu itu Sayyidina Ali telah wafat, namun kejadian ini dipertemukan secara gaib dengan kekuasaan Alloh Yang Maha Kuasa. Lalu , orang tua itu berkata kepada Prabu Kiansantang: “Kalau memang kau mau bertemu dengan Sayyidina Ali, kau harus melaksanakan dua syarat: Pertama,harus mujasmedidulu di ujung kulon. Kedua, namamu harus diganti menjadi Galantrang Setra (Galantrang – Berani, Setra – Bersih/ Suci).
setelah Prabu Kiansantang melaksanakan dua syarat tersebut, maka berangkatlah dia ke tanah Suci Mekah pada tahun 1348 Masehi. Setiba di tanah Mekah, ia bertemu dengan seorang lelaki yang disebut Sayyidina Ali, tetapi Kiansantang tidak mengetahui bahwa laki-laki itu bernama Sayyidina Ali. Prabu Kiansantang yang namanya sudah berganti menjadi Galantrang Setra menanyakan kepada laki-laki itu.
“Kenalkah dengan orang yang namanya Sayyidina Ali?” tentu laki- laki itu menjawab dengan jujur, mengiyakannya, bahkan ia bersedia mengantar Kian Santang. Sebelum berangkat, laki-laki itu menancapkan dulu tongkatnya ke tanah. Setelah berjalan beberapa puluh meter, Sayyidina Ali berkata, “Wahai Galantrang Setra, tongkatku ketinggalan di tempat tadi, tolong ambilkan dulu!”
Semula Galantrang Setra tidak mau. Namun Sayyidina Ali mengatakan jika tidak mau, tentu tidak akan bertemu dengan Sayyidina Ali. Terpaksalah Galantrang Setra kembali ketempat bertemu, untuk mengambilkan tongkat. Setibanya di tempat tongkat tertancap, Galantrang Setra mencabut tongkat dengan sebelah tangan. Ternyata tongkat tidak bisa dicabut, bahkan tidak sedikitpun berubah. Sekali lagi, Kian santang berusaha mencabutnya, tetapi tongkat itu tetap tidak berubah. Ketiga kalinya, Galantrang Setra mencabut tongkat dengan sekuat tenaga dengan disertai tenaga bathin. Tetapi tongkat tetap tertancap di tanah dengan kokoh, sebaliknya kedua kaki Galantrang Setra amblas masuk ke dalam tanah, dan keluarlah darah dari tubuh Galantrang Setra.
Sayyidina Ali mengetahui kejadian itu, maka beliaupun datang. Setelah Sayyidina Ali tiba, tongkat itu langsung dicabut sambil mengucapkan Bismillah dan dua kalimat syahadat.Tongkatpun terangkat dan bersamaan dengan itu hilang pulalah darah dari tubuh Galantrang Setra. Galantrang Setra merasa heran, kenapa darah yang keluar dari tubuh itu tiba-tiba menghilang dan kembali tubuhnya sehat. Dalam hatinya ia bertanya. “Apakah kejadian itu karena kalimah yang diucapkan oleh orang tua itu tadi?”. Kalaulah benar, kebetulan, akan kuminta ilmu kalimah itu. Tetapi laki-laki itu tidak menjawab. Alasannya, karena Galantrang Setra belum masuk Islam.
Kemudian mereka berdua berangkat menuju Mekah. Setelah tiba di Mekah, di tengah perjalanan ada yang bertanya kepada laki-laki itu dengan sebutan Sayyidina Ali. Galantrang Setra kaget mendengar panggilan ”Ali” tersebut. Ternyata laki-laki yang baru dikenalnya tadi tiada lain adalah Sayyidina Ali.
Setelah Kiansantang meninggalkan Mekah untuk pulang ke Tanah Jawa (Pajajaran), ia terlunta-lunta tidak tahu arah tujuan. Maka ia berpikir untuk kembali ke Mekah lagi dengan niat bulat akan menemui Sayyidina Ali, sekaligus bermaksud memeluk agama Islam. Pada tahun 1348 Masehi, Kiansantang masuk Islam. Ia bermukim selama dua puluh hari sambil mempelajari ajaran agama Islam. Kemudian dia pulang ke tanah Jawa (Pajajaran) untuk menengok ayahnya Prabu Siliwangi dan saudara-saudaranya.
Setibanya di Pajajaran, ia bertemu dengan ayahnya. Kian Santang menceritakan pengalamannya selama bermukim di tanah Mekah serta pertemuannya dengan Sayyidina Ali. Pada akhir ceritanya, ia memberitahukan bahwa dirinya telah masuk Islam dan berniat mengajak ayahnya untuk memeluk agama Islam. Prabu Siliwangi kaget sewaktu mendengar cerita anaknya, terlebih ketika anaknya mengajak masuk agama Islam. Sang ayah tidak percaya, dan ajakannya ditolak.
Tahun 1355 Masehi, Kiansantang berangkat kembali ke tanah Mekah. Jabatan kedaleman, untuk sementara diserahkan ke Galuh Pakuan yang pada waktu itu dalemnya dipegang oleh Prabu Anggalang. Prabu Kiansantang bermukim di tanah Mekah selama tujuh tahun dan mempelajari ajaran agama Islam secara khusu. Merasa sudah cukup menekuni ajaran agama Islam, kemudian ia kembali ke Pajajaran tahun 1362 M. Ia berniat menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Jawa. Kembali ke Pajajaran pun disertai saudagar Arab yang punya niat berniaga di Pajajaran sambil membantu Kiansantang mensyi’arkan agama Islam.
Setiba di Pajajaran, Kiansantang langsung menyebarkan agama Islam di kalangan masyarakat, karena ajaran Islam dalam fitrohnya membawa keselamatan dunia dan akhirat. Masyarakat menerimanya dengan tangan terbuka. Kemudian Prabu Kiansantang bermaksud menyebarkan ajaran agama Islam di lingkungan Keraton Pajajaran.

Setelah Prabu Siliwangi mendapat berita bahwa anaknya sudah kembali ke Pajajaran dan akan menghadap kepadanya. Prabu Siliwangi yang mempunyai martabat raja mempunyai pikiran. “Dari pada masuk agama Islam lebih baik aku muninggalkan keraton Pajajaran”. Sebelum berangkat meninggalkan keraton, Prabu Siliwangi merubah Keraton Pajajaran yang indah menjadi hutan belantara.

Melihat gelagat demikian, Kiansantang mengejar ayahnya. Beberapa kali Prabu Siliwangi terkejar dan berhadapan dengan Kiansantang yang langsung mendesak agar sang ayah dan para pengikutnya masuk Islam. Namun Prabu Siliwangi tetap menolak, malah beliau lari ke daerah Garut Selatan. Kiansantang menghadangnya di laut Kidul Garut, tetapi Prabu Siliwangi tetap tidak mau masuk agama Islam. Dengan rasa menyesal, Kiansantang terpaksa membendung jalan larinya sang ayah. Prabu Siliwangi masuk ke dalam gua yang sekarang disebut gua sancang Pameungpeuk.
Prabu Kiansantang sudah berusaha mengislamkan ayahnya, tetapi Alloh tidak memberi hidayah kepada Prabu Siliwangi. Kiansantang kembali ke Pajajaran, kemudian membangun kembali kerajaan sambil menyebarkan agama Islam ke pelosok-pelosok, dibantu oleh saudagar Arab sambil berdagang. Namun istana kerajaan yang diciptakan oleh Prabu Siliwangi tidak dirubah, dengan maksud pada akhir nanti anak cucu atau generasi muda akan tahu bahwa itu adalah peninggalan sejarah nenek moyangnya. Sekarang lokasi istana itu disebut Kebun Raya Bogor.
Pada tahun 1372 Masehi, Kiansantang menyebarkan agama Islam di Galuh Pakuan dan dia sendiri yang mengkhitan laki-laki yang masuk agama Islam. Tahun 1400 Masehi, Kiansantang diangkat menjadi Raja Pajajaran, menggantikan Prabu Munding Kawati atau Prabu Anapakem I. Namun Kiansantang tidak lama menjadi raja, karena mendapat ilham harus uzlah, pindah dari tempat yang ramai ketempat yang sepi. Dalam uzlah itu, ia diminta agar bertafakur untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, dalam rangka mencapai kema’ripatan. Kepada beliau dimintakan untuk memilih tempat tafakur dari ke 3 tempat, yaitu Gunung Ceremai, Gunung Tasikmalaya, atau Gunung Suci Garut.
Waktu uzlah harus dibawa peti yang berisikan tanah pusaka. Peti itu untuk dijadikan tanda atau petunjuk tempat bertafakur nanti, apabila tiba disatu tempat peti itu godeg/ berubah, maka disanalah tempat dia tafakur, dan kemudian nama Kiansantang harus diganti dengan Sunan Rohmat. Sebelum uzlah, Kiansantang menyerahkan tahta kerajaan kepada Prabu Panatayuda, putra tunggal Prabu Munding Kawati.
Setelah selesai serah-terima tahta kerajaan dengan Prabu Panatayuda, maka berangkatlah Prabu Kiansantang meninggalkan Pajajaran. Tempat yang dituju pertama kali adalah Gunung Ceremai. Setibanya disana, peti diletakan di atas tanah, tetapi peti itu tidak godeg alias berubah. Kiansantang kemudian berangkat lagi ke gunung Tasikmalaya, disana juga peti tidak berubah. Akhirnya Kiansantang memutuskan untuk berangkat ke gunung Suci Garut. Setibanya di gunung Suci Garut, peti itu disimpan diatas tanah, secara tiba-tiba berubahlah peti itu. Dengan godegnya peti tersebut, berarti petunjuk kepada Kiansantang bahwa ditempat itulah beliau harus tafakur untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tempat itu kini diberi nama Makam Godog.

Prabu Kiansantang bertafakur selama 19 tahun. Sempat mendirikan Mesjid yang disebut Masjid Pusaka Karamat Godog yang berjarak dari makam godog sekitar kurang lebih 1 Km. Prabu Kiansantang namanya diganti menjadi Syeh Sunan Rohmat Suci dan tempatnya menjadi Godog Karamat. Beliau wafat pada tahun 1419 M atau tahun 849 Hijriah. Syeh Sunan Rohmat Suci wafat di tempat itu yang sampai sekarang dinamakan Makam Sunan Rohmat Suci atau Makam Karamat Godog.***
Wallahu a’lam bish-shawab

Sumber: http://galuh-purba.com

KH.ASNAWI CARINGIN ( ULAMA DAN PENDEKAR BANTEN )


October, 26 2012

Di suatu kampung bernama Caringin kecamatan Labuan Pandegalang Banten. Kampung Caringin dengan pesona Laut yang sangat mempesona diambil dari kata “beringin” yang artinya “pohon teduh yang Rindang  disana terdapat Maqom Auliyaillah seorang ulama pejuang bernama KH.ASNAWI yang orang kampung biasa memanggil dengan sebutan “mama Asnawi”  yang telah mengayomi masyarakat yang dianalogikan sebagai pohon beringin .
kh.Asnawi Caringin Banten
KH.ASNAWI CARINGIN BANTEN

KH.Asnawi lahir di Kampung caringin sekitar tahun 1850 M, ayah beliau bernama Abdurrahman dan ibunya bernama  Ratu Sabi’ah dan merupakan keturunan ke 17 dari Sultan Ageng Mataram atau Raden Fattah . Sejak umur 9 tahun Ayahnya telah mengirim Kh.Asnawi ke Mekkah untuk memperdalam Agama Islam. Di mekkah beliau belajar dengan Ulama kelahiran Banten yang telah termasyhur namanya bernama Syech Nawawi Al Bantani.Kecerdasan yang di miliki beliau dengam mudah mampu menyerap berbagai dsiplin ilmu yang telah di berikan gurunya. Setelah dirasa cukup lama menimba ilmu dari gurunya maka Syech Nawawi Tanara Banten menyuruh muridnya Kh.Asnawi untuk pulang ketanah air untuk mensyiarkan agama Alloh.
Sekembalinya dari Mekkah Kh.Asnawi mulai melakukan dakwah ke berbagai daerah , karena ketinggian ilmu yang dimiliki nama Kh.Asnawi mulai ramai dikenal orang dan menjadi sosok ulama yang menjadi panutan masyarakat Banten. Situasi Tanah air yang masih di kuasai Penjajah Belanda dan rusak nya moral masyarakat pada waktu membuat Kh.Asnawi sering mendapat Ancaman dari pihak pihak yang merasa kebebasannya terusik.  Banten yang terkenal dengan Jawara jawaranya yang memiliki ilmu Kanuragan  dan dahulu terkenal sangat sadis dapat di taklukkan berkat kegigihan dan perjuangan Kh.Asnawi . Beliau juga terkenal sebagai Ulama dan Jawara yang sakti yang sangat di segani  oleh kaum Penjajah Belanda .Kh.Asnawi dalam melakukan dakwahnya juga mengobarkan semangat Nasionalisme anti Penjajah kepada masyarakat hingga akhirnya Kh.Asnawi di tahan di Tanah Abang di asingkan  ke Cianjur  oleh Belanda selama kurang lebih satu tahun dengan tuduhan melakukan pemberontakan kepada pemerintah Hindia Belanda , Apa yang dilakukan Kh.Asnawi   mendapat dukungan penuh dari rakyat dan dan para ulama  lainnya, seperti para bangsawan dan para jawara. Semenjak runtuhnya kesultanan Banten, terjadi sejumlah pemberontakan yang sebagian besar dipimpin oleh tokoh-tokoh agama. Seperti, pemberontakan di Pandeglang tahun 1811 yang dipimpin oleh Mas Jakaria, peristiwa Cikande Udik tahun 1845, pemberontakan Wakhia tahun 1850, peristiwa Usup tahun 1851, peristiwa Pungut tahun 1862, kasus Kolelet tahun 1866, kasus Jayakusuma tahun 1868 dan yang paling terkenal adalah Geger Cilegon tahun 1888 yang dipimpin oleh KH. Wasid.
Selama di pengasingan Kh.Asnawi tetap melakukan Dakwah mengajarkan Alquran dan Tarekat kepada masyarakat  sekitar dan  setelah dirasa Aman Kh.Asnawi kembali ke kampungnya di Caringin untuk melanjutkan perjuangan mensyiarkan Islam dengan mendirikan Madrasah Masyarikul Anwar dan Masjid Salapiah Caringin sekitar tahun 1884 Mesjid Caringin ditandai oleh denah empat persegi panjang, pada keempat sisinya terdapat serambi. Arsitektur Masjid dipengaruhi oleh unsur arsitektur lokal, terlihat dari bentuk atapnya dan ditopang oleh arsitektur asing terlihat pada bentuk jendela serta pintu dalam dengan ukuran relatif besar juga pilar-pilar yang mengelilingi Masjid. Menurut cerita bahwa Kayu masjid tersebut berasal dari sebuah pohon Kalimantan  yang di bawa oleh Kh.Asnawi ke Caringin dahulu pohon tersebut tidak bisa di tebang kalaupun bisa di tebang beberapa saat pohon tersebut muncul kembali hingga akhirnya Kh.Asnawi berdo’a memohon kepada Alloh agar diberi kekuatan dan pohon tersebut dapat di tebang serta kayunya dibawa Kh.Asnawi ke Caringin untuk membangun Masjid.
masjid_assalafi_caringin
Tahun 1937 Kh.Asnawi berpulang kerahmtulloh dan meninggalkan 23 anak dari lima Istri ( Hj.Ageng Tuti halimah, HJ sarban, Hj Syarifah, Nyai Salfah dan Nyai Nafi’ah ) dan di maqomkan di Masjid Salfiah Caringin , hingga kini Masjid Salafiah  Caringin dan maqom beliau tak pernah sepi dari para peziarah baik dari sekitar Banten maupun dari berbagai daerah di tanah air banyak pengalaman menarik dari peziarah yang melakukan i’tikaf di masjid tersebut seperti yang diungkap oleh salah seorang jamaah sewaktu melakukan i’tikaf terlihat pancaran cahaya memenuhi ruangan Masjid yang berusia hampir 200 tahun tersebut . Wallohu a’lam
Sumber: dari berbagai sumber

10 Jenis Kesenian Tradisional Banten


September, 26 2012


Angklung buhun adalah alat musik tradisional khas Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Dinamakan buhun karena kesenian ini lahir bersamaan dengan hadirnya masyarakat Baduy. Buhun berarti tua, kuno (baheula ). Angklung buhun adalah angklung tua yang menjadi kesenian pusaka masyarakat Baduy. Kesenian ini dianggap memiliki nilai magis (kekuaan gaib) dan sakral. Selain itu kesenian ini juga punya arti penting sebagai penyambung amanat untuk mempertahankan generasi masyarakat Baduy.

Angklung Gubrag

Angklung Gubrag Merupakan salah satu kesenian tradisional yang sudah langka, namun masyarakat Desa Kemuning, Kecamatan Kresek – Kabupaten Tangerang masih melestarikan kesenian Angklung Gubrag pada acara khitanan, perkimpoian dan selamatan kehamilan. Pada masa lalu kesenian Angklung Gubrag dilaksanakan pada saat ritual penanaman padi dengan maksud agar hasil panen berlimpah. Instrumen yang digunakan 6 buah angklung menggunakan bambu hitam, masing-masing memiliki nama: bibit, anak bibit, engklok 1, engklok 2, gonjing dan panembal, dilengkapi dengan terompet kendang pencak dan seruling. Di atas angklung dikaitkan pita yang berasal dari kembang wiru, menurut kepercayaan kembang wiru dan air yang berasal dari angklung dipercaya dapat menjadi obat dan penyubur tanaman. Semua pemain berdiri tidak menari kecuali penabuh dogdog lojor menabuh sambil ngibing diiringi beberapa penari perempuan dengan kostum kebaya dan kain.

Bendrong Lesung

Bendrong Lesung merupakan salah satu kesenian tradisional masyarakat Cilegon-Banten, yang tumbuh dan berkembang secara turun temurun di masyarakat hingga saat ini. Awalnya kesenian ini merupakan tradisi masyarakat setempat dalammenyambut Panen Raya. Tujuannya untuk mengungkapkan kebahagiaan atas jerih payah yang dilakukan, dan yang telah membuahkan hasil.
Dalam perkembangannya, Bendrong Lesung tidak hanya ditampulkan pada penyambutan Panen Raya, tetapi ditampilkan juga pada acara-acara pesta perkimpoian atau upacara peresmian. Bendrong Lesung memadukan musik Lesung atau Lisung (tempat menumbuk padi) dengan musik lainnya yang dimainkan oleh beberapa orang.

Debus

Debus adalah seni pertunjukan yang memperlihatkan permainan kekebalan tubuh terhadap pukulan, tusukan, dan tebasan benda tajam. Dalam pertunjukanya, debus banyak menampilkan aktraksi kekebalan tubuh sesuai dengan keinginan pemainnya. Pada masa pemerintahan sultan ageng tirtayasa sekitar abad ke-17 ( 1651-1652), debus difokuskan sebagai alat untuk membangkitkan semangat para pejuang dalam melawan penjajah. Pada perkembangan selanjutnya, debus menjadi salah satu bagian ragam seni budaya masyarakat banten sehingga kesenian ini banyak digemari oleh masyarakat sebagai hiburan yang langka dan menarik di banten, permainan debus berkembang di kabupaten lebak, pandeglang, kota cilegon dan kota serang.

Dogdog Lojor

Dogdog merupakan alat musik yang terbuat dari batang kayu bulat, tengahnya diberi rongga, namun kedua ujung ruasnya mempunyai bulatan diameter yang berbeda (± 12 – 15 cm) dengan panjang ± 90 cm. Pada ujung bulatan yang paling besar ditutup dengan kulit kambing yang telah dikeringkan dan diikat dengan bambu melingkar yang dipaseuk/baji untuk menyetel suara atau bunyi. Suara yang dihasilkan akan berbunyi dog dog dog (dalam telinga orang Sunda). Oleh karena itu alat ini diberi nama Dog Dog. Sedangkan kata lojor berarti lonjong atau lodor yang sepadan dengan kata panjang. Jadi Dogdog Lojor sama artinya dengan Dogdog Panjang. Kesenian ini berkembang di Banten bagian Selatan Kabupaten Lebak, dengan pemain berjumlah 12 orang. Pada awalnya pertunjukan seni Dogdog Lojor ini, dilakukan sebagai pelengkap dalam rangka pelaksanaan upacara adat seperti Seren Taun, sedekah bumi ataupun ruwatan. Oleh karena itu, pertunjukan Dogdog Lojor dilaksanakan secara khidmat. Sejalan dengan perkembangan zaman, pertunjukan Dogdog Lojor dilakukan dengan penuh kegembiraan sehingga berkembang menjadi seni pertunjukan hiburan dan permainan rakyat.

Dzikir Saman

Seni Saman atau disebut juga Dzikir Maulud yaitu kesenian tradisional rakyat Banten khususnya di Kabupaten Pandeglang yang menggunakan media gerak dan lagu (vokal) dan syair-syair yang dilantunkan mengagungkan Asma Allah dan pujian kepada Nabi Muhammad SAW. berdasarkan literatur disebut Dzikir Saman karena berkaitan arti Saman yaitu Delapan dan dicetuskan pertama kali oleh Syech Saman dari Aceh. Tari Saman berasal dari Kesultanan Banten yang dibawa para ulama pada abad 18 sebagai upacara keagamaan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW pada bulan Maulud, namun dalam perkembangan selanjutnya dapat pula dilakukan pada upacara selametan khitanan, pernikahan atau selametan rumah. pemain seni Dzikir Saman berjumlah antara 26 sampai dengan 46 orang. 2 sampai 4 orang sebagai vokalis yang membacakan syair-syair Kitab.

Kesenian Buaya Putih

Kesenian tradisional yang berkembang di kampung curugdahu desa kadubeureum kecamatan padarincang kabupatne serang, iringan ngarak buaya putih biasanya dilakukan dalam kegiatan mengirimkan bahan-bahan keperluan hajatan yang menjadi ciri khas daerah setempat, dimana keperluan hajatan ditata sedemikian rupa pada sebatang pohon bambu yang dibentuk rangka mirip seekor buaya, dengan panjang mencapai 8 sampai 10 meter, dengan dihiasi janur kelapa. Buaya putih dimainkan secara keseluruhan oleh 40 orang, dimana 4 orang pemain laki-laki yang bertugas memegang umbul-umbul sebagai pembatas barisan, 2 orang bagian paling depan dan 2 orang lagi sebagai pemegang spanduk, 1 orang sebagai penarik penonton, di belakang 10 orang sebagai penari mojang desa, berdiri sepasang pengantin yang diapit kedua orang tua yang di lengkapi dengan seorang pembawa payung kebesaran. Dibagian tengah terdapat 4 orang sebagai pemikul buaya putih yang harus mampu memainkan buaya putih dengan baik, dibawah kendali seoranag pawang buaya yang bernama ma ijah, tarian buaya putih ini diiringi oleh 14 orang pemain musik rudat, dengan alat yang terdiri dari : Gending paria ria, kemplongan, dan gembrung.

Pantung Bambu

Pantung Bambu adalah alat musik tradisional khas masyarakat cilegon yang terbuat dari bambu berdiameter rata-rata 10cm, panjang 80cm, beruas dua dengan lubang di tengah dan berlidah disayat dengan tiga buah senar bernada empat tangga nada. Dalam satu grup pantun bambu dibutuhkan paling sedikit tiga pantun yang terdiri dari pantun melodi gendang tapak, pantun bas gendang dan pantun ritme patingtung. Pada awalnya musik pantun di mainkan disaat-saat melepas lelah setelah para petani berkerja disawah, dengan peralatan bambu sederhana dapat menimbulkan irama yang menghibur. Dalam perkembangannya saat alat musik "Pantun" telah di kolaborasi dengan alat musik lainnya seperti musik patingtung, rudat, terbang gede dan sebagainya. Pantun sekarang ini juga digunakan untuk mengiringi lagu dan tarian.

Terbang Gede

Terbang gede merupakan salah satu kesenian tradisional Banten yang tumbuh dan berkembang pada waktu para penyebar agama islam menyebarkan ajarannya di Banten, oleh karena itu kesenian terbang gede berkembang secara pesat di lingkungan pesantren dan mesjid-mesjid. Kesenian ini disebut terbang gede karena salah satu instrumen musik utamanya adalah terbang besar (gede). Pada awalnya kesenian terbang gede berfungsi sebagai sarana penyebaran agama islam, namun kemudian berkembang sebagai upacara ritual seperti : ngarak panganten, ruwatan rumah, syukuran bayi, hajat bumi, dan juga hiburan. Terbang gede dimainkan oleh beberapa orang biasanya laki-laki yang telah lanjut usia terdiri atas Penabuh terbang gede (besar) , penabuh sela, penabuh pengarak, penabuh kempul, penabuh koneng, yang diiringi dengan sholawatan nabi dengan bahasa Arab ataupun jawa.

Rampak Beduk

Rampak Beduk merupakan sajian instrumen berupa perkusi, yang ditingkahi suara bedug berbagai ukuran. Ada empat bedug diikat kain merah biru, yang dipukul oleh pemain yang berdiri di tengah. Di pinggirannya, kelompok musik menimpali dengan bedug berbagai ukuran. Sesekali suara terdengar dari mulut para pemainnya, mirip suara musik tiup. Namun, tak ada sajian instrumen tiup. Yang terdengar, suara harmonis antara bedug dan para vokalis tradisi saling menyahut. Seni Rampak Bedug berawal dari kebiasaan penduduk berkeliling kampung sambil memukul bedug kala sahur di bulan puasa. Yang kemudian dijadikan ajang untuk beradu keras memukul bedug. Alhasil terjadilah pertemuan antar mereka, saling beradu kekuatan bedug. Tari Rampak Beduk Banten dimainkan oleh secara masal. Sekilas, gerakannya mirip tarian dari daerah Aceh.

Sumber : Indowebster.com

ULAMA BANTEN


1.    SYECH YUSUF AL – MAKASARI AL – BANTANI DAN PANGERAN PURBAYA

September, 20 2012

Muhammad Yusuf dilahirkan di Gowa, Sulawesi Selatan tahun 1627, ayahnya Abdullah Abul Mahasin (sumber lain Pangeran Ancol/Ang Dian Faleha/Syeikh Samsudin bin Tubagus Angke bin Pangeran Arya Bundan dari Goa), beliau berguru pada Daeng Ritasammang, kemudian belajar Ilmu Syari`at Islam dan Tasauf kepada Sayid Ba`Alawi bin Abdullah Al Allamah Ath Thahir, pada usia 15 Tahun berguru pada Syeikh Jalaluddin Al Aidid, pada usia 18 tahun belajar ke Timur tengah kebetulan kapalnya singgah di Pelabuhan Banten pada masa kesultanan Syeikh Abu Mafakhir Mahmud Abdul Kadir dimana Islam berkembang sangat pesat, Syeikh Yusuf berteman akrab dengan Pangeran Surya cucu dari Sultan Abu Mafakhir Mahmujd Abdul Kadir, demikian pula dengan kerabat Kesultanan Banten lainnya, sehingga sebelum berangkat ke Arab syeikh Yusuf singgah dan menetap di Banten kemudian ke Aceh selanjutnya ke Timur tengah singgah di Yaman untuk berguru pada Syeikh Muhammad Abdul Baqi Al Naqsyabandi selanjutnya melakukan perjalanan ke Mekkah dan Madinah dan berguru pada beberapa ulama : Syeikh Ahmad Al – Qusyasyi, Syeik Ibrahim Al – Kurani, serta Syeik Hasan Al`ajami.
Selanjutnya Syeikh Yusuf menimba Ilmu di Pusat Pengetahuan pada Zaman tersebut yaitu di Kota Damaskus berguru pada Syeikh Ayub bin Ahmad bin Ayyub Al Dimasyiqi Al Khalwati, syeikh yusuf mendapatkan gelar dari gurunya At Tajul Khalwati (Mahkota Khalwati).
Pada tahun 1664 Syeikh yusuf kembali ke Tanah air dari Makkah, perjalanan pulang kembali ke Tanah air kembali melewati Banten pada waktu usia Syeikh Yusuf 38 tahun, ketika mendarat di Banten kondisi situasi di Kesultanan sudah berubah Pangeran Surya yang 15 tahun lalu ditinggalkan sudah menjadi Sultan Banten dengan gelar Sultan Abul Fathi Abdul Fattah, masyarakat Banten lebih mengenal dengan sebutan Sultan Ageng Tirtayasa karena telah membangun kraton di Tirtayasa akibat pertentangan dengan anaknya Sultan Haji, Respek Sultan Ageng Tirtayasa dan Masyarakat Banten pada saat itu sungguh luar biasa baik Sultan maupun Rakyat Banten memanggilnya dengan sebutan Syeikh Muhammad Yusuf Tajul Al Khalwati, karena masyarakat Banten yang pernah bertemu di Mekkah sudah menyaksikan dan mengenal martabat syeikh Yusuf di kalangan Ulama di Mekkah, sehingga berita tersebut sampai ke kalangan masyrakat di Tanah air dan Sultan Banten menginginkan Syeikh Yusuf untuk mengamalkan Ilmunya di Banten menjadikannya penasehat kesultanan dan sekaligus menjadi mertuanya karena dinikahkan dengan salah seorang putri Sultan, yaitu Ratu Ayu Alenggapura bin Sultan Abu Mafakhir Mahmud Abdul Kadir dan diangkat menjadi Mufti Agung Kesultanan Banten, sehingga Syeikh Yusuf tertahan di Banten.
Walaupun di Gowa Sultan Hasanuddin juga sedang berperang dengan Kompeni, di Banten Syeikh Yusuf mengadakan pengajian dengan masyarakat Banten dan menyebarkan ajaran syaria`at islam termasuk tarekatnya sehingga namanya termasyur di Banten demikian pula kabar  tersebut sampai di Makasar sehingga banyak masyarakat Makasar dan Bugis yang datang ke Banten untuk belajar ilmu agama pada Syeikh yususf termasuk raja Gowa Sultan Ali Karaeng Besei (1674-1677) beserta pasukannya sebanyak 400 orang yang dibuang ke Batavia setelah bebas bergabung dengan Syeikh Yusuf sekaligus menjadi muridnya. akhirnya Syeikh Yusuf marapatkan barisan dengan Sultan Ageng Tirtayasa dan Kerabatnya termasuk Pangeran Purbaya, Pangeran Kulon, Pengeran Kidul, Pangeran Sugiri, serta Pangeran Raden Saleh (Pangeran Sake) bahu membahu melawan Kompeni VOC. Sementara Pangeran Sugiri walaupun turut berjuang tetapi sikap pribadinya lebih mengarah sebagai ulama Sufi.
Pada Saat Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa sama seperti kakeknya sangat taat beribadah dan menerapkan syari`at islam dengan baik, demikian pula Sultan Ageng Tirtayasa menganut Tarekat Khalwatiyah untuk memperkokoh dalam memerintah,  selain menganjurkan masyarakatnya untuk berpakaian Arab dimana Pakaian Arab tersebut saat itu seperti layaknya Pakaian Nasional pada saat  ini karena hubungan dangan penguasa di Jazirah Arab (Syarif) sangat dekat. Perkembangan Banten sangat pesat sehingga Bandar Banten menjadi Pelabuhan Internasional, berbagai Kapal dari Mancanegara baik asia dan eropa merapak di Banten, hanya kepada Kompeni VOC yang menerapkan praktek monopoli Dagang dan sudah terlalu lama menyengsarakan Rakyat Banten Sultan Ageng Tirtayasa sangat membenci, ketika Musyawarah kesultanan dengan seluruh kerabat dan Mangkubumi pada tanggal 16 Februari 1671 putra pertama Sultan yaitu : Pangeran Abdul Kohar diangkat menjadi Putra Mahkota dan pada saat bersamaan datang surat dari Syarif/Pemegang Kekuasaan tertinggi Islam di Jazirah Arah yang berisi pemberian Gelar untuk Kesultanan Banten, gelar untuk Pangeran Abdul Kohar yaitu Sultan Abu Nasr Abdul Kohar, oleh Sultan Ageng Tirtayasa diberi wewenang untuk mengurus urusan dalam negeri Kesultanan sehingga Putra mahkota memiliki pembantu – pembantu dan pasukan tersendiri, hal ini yang menjadikan benih – benih pertentangan antara Sultan Abu Nasr dan Sultan Ageng Tirtayasa sehingga beliau memindahkan kratonnya ke Tirtayasa, untuk meredam agar pertentangan tidak berkembang Sultan Ageng Tirtayasa memerintahkan Sultan Abu Nasr Abdul Kohar untuk melaksanakn Ibadah Haji ke Mekkah agar kepribadiannya terbentuk dengan baik terlebih lagi sudah diangkat menjadi Putra Mahkota, untuk sementara kewenangan di kesultanan diserahkan pada Pangeran Purbaya yang dibandingkan dengan saudaranya memiliki wawasan dan pengetahuan serta Akhlak yang lebih baik, dengan harapan sekembalinya dari Ibadah Haji nanti Sultan Abu Nasr mendapatkan pengalaman yang lebih dari perjalanan ke Tanah Suci yang memakan waktu selama dua tahun serta mengunjungi beberapa kerajaan Islam yang dapat disinggahi, akan tetapi sekembalinya dari perjalanan mendapatkan hal yang tidak sesuai dengan harapan karena melihat kenyataan kewenangannya telah beralih sehingga menimbulkan pertentangan dan ketegangan yang terjadi antara Sultan Abu Nasr Abdul kohar yang lebih dikenal dengan sebutan Sultan Haji dengan Pangeran Purbaya demikian pula antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan Sultan Haji, Ketika terjadi persaingan sengit antara Belanda dan Inggris, dan Sultan Muda yang haji itu berpihak kepada Kompeni, Sultan Ageng Tirtayasa menyesal, dan berhasrat menguasai tahtanya kembali dibantu orang-orang Inggris dan Denmark serta Pangeran Purbaya putra bungsunya.
Hal tersebut dimanfaatkan oleh Kompeni VOC untuk mengadu domba sehingga terjadilah perang saudara dan Sultan Haji meminta bantuan pihak asing terutama Kompeni VOC dengan Imbalan yang akhirnya mengebiri kekuasaannya, dimulailah era perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa dibantu dengan Syeikh Yusuf dan Pangeran Purbaya melawan Kompeni VOC dan Sultan Haji, mula – mula pertempuran dimulai dengan diserangnya Kraton Surosowan oleh Sultan Ageng Tirtayasa 27 Februari 1682, Sultan Haji tidak kuasa melawan tentara ayahnya. Ia mengunci diri dalam istana Kraton Surosowan yang dijaga tentara Kompeni Belanda. Sehingga Sultan Haji meminta Bantuan pada Gubernur Jendral Kompeni Belanda di Batavia melalui Kapten Sloot dan W.Caeff, sehingga kompeni mengirimkan Pasukan Pimpinan Kapten Saint Martin Kapten Francois Tack dan Kapten Hartsnick, Kapten Jonker terjadi pertempuran hebat mulai dari Kraton Surosowan, Pelabuahan Banten, Tirtayasa dan  Tenara serta Kademangan, pasukan Banten yang bermarkas di margasana dibombardir dari darat dan laut, demikian pula di Tangerang sebelah timur sungai angke terjadi pertempuran hebat selama berbulan bulan, Syeikh Yusuf dan Pangeran Purbaya dengan setia mengawal Sultan Ageng Tirtayasa sehingga akhirnya terdesak akibat digempur habis – habisan oleh pasukan gabungan Sultan Haji dan Kompeni, sementara Pasukan Sultan Ageng Tirtayasa selain pejuang Banten juga tergabung didalamnya Prajurit Gowa Makasar, Jawa Timur, Cirebon dan Lampung yang relative belum menguasai medan Pertempuran di Banten karena terdesak sehingga pasukan Sultan Ageng Tirtayasa menarik diri ke Hutan Keranggan dan melakukan perang gerilya selama satu tahun selanjutnya mengungsi ke daerah pedalaman lebak dan pasukan terpecah menjadi dua Bagian : Pangeran Purbaya dan pasukannya kearah pedalaman Tangerang, sedangkan Syeikh Yusuf, Pangeran Kulon dan Pangeran Kidul dengan sisa pasukannya bergerak kearah Sajira perbatasan Bogor, dengan berbagai tipu daya Sultan Haji dan Kompeni berusaha membujul Sultan Ageng Tirtayasa untuk kembali ke kraton Surasowan, tanpa rasa curiga karena usia yang sudah lanjut serta duka yang mendalam atas gugurnya Pangeran Kulon tanggal 7 maret 1683, pada tengah malam 14 maret 1683 Sultan Ageng Tirtayasa bersedia untuk datang ke kraton Surosowan, beserta dengan pengawalnya, karena rasa kuatir kompeni akan pengaruh Sultan Ageng Tirtayasa pada sultan Haji maka Sultan Ageng Tirtayasa dibawa ke Batavia dimasukan ke Penjara dengan penjagaan serdadu kompeni yang sangat ketat.
Tertangkapnya Sultan Ageng Tirtayasa denga tipu daya kompeni tidak menyurutkan perjuangan Syeikh Yusuf dan Pengeran Purbaya justru semakin menambah semangat perjuangannya, dengan harapan mendapatkan sokongan perjuangan dari kesultanan Cirebon syeikh yusuf beserta pasukan Banten lainnya menyusuri hutan dan  tepi sungai untuk sampai ke Cirebon, akan tetapi maksud tujuan tersebut sudah terbaca oleh Kompeni VOC maka kompeni mengirimkan Van Hapel untuk mencegatnya, demikian pula gerak pasukan kearah Jawa Tengah dicegat karena kompeni Khawatir bergabung dengan Pasukan  Kertasura, oleh karenanya Pasukan Syeikh Yusuf dan Pangeran Purbaya melakukan perjalanan dengan arah yang berbeda, Pangeran Purbaya dengan pasukan berjumlah 5000 terdiri orang Banten, makasar, Bugis dan melayu bergerak ke arah Galunggung untuk bergabung dengan Tumenggung Tanubaya, sedangkan Syeikh Yusuf bergerak ke Cianten lewat jalan Cisarua dan Jampang selanjutnya ke Cilacap dengan perahu karena dicegat oleh Kapten de Ruys dan Eigel, kemudian menuju padaherang menyusuri sungai Citandui sambil bergerilya menyerbu benteng – benteng Kompeni, pada tanggal 25 September 1683 terjadi pertempuran besar-besaran dimana Pangeran Kidul gugur, pembesar Banten dan makasar yang turut serta banyak yang gugur, istri syeikh yusuf ditawan beserta putrinya, sementara syeikh yusuf dapat meloloskan diri menuju daerah mandala Sukapura, untuk menangkap Syeikh Yusuf kompeni Belanda mengatur strategi licik dangen tipudaya menjadikan putrinya asmah sebagai Sandera sehingga syeikh yusuf mau melakukan perundingan sehingga bersedia untuk melakukan perundingan dengan janji – janji manis yang sudah barang tentu tidak akan dipenuhi seperti halnya tatkala menangkap sultan Ageng Tirtayasa.
Syeikh Yusuf dan para pengikutnya akhirnya ditangkap di Segara Anakan pantai Selatan Jawa, Syeikh Yusuf Makassar ditangkap oleh Van Happel yang menyamar sebagai orang muslim, ketika melakukan perundingan selanjutnya dibawa ke Cirebon kemudian ke Batavia dan pada tanggal 22 Maret 1684 dibuang ke Srilangka, ketika keluarganya meminta untuk dikembalikan ke Gowa Kompeni merasa khawatir dengan semangat perjuangan syeikh yusuf maka membuang Syeikh Yusuf ke  Tanjung Harapan Afrika Selatan ditempatkan di Zandvlet dekat muara sungaiu Eerste, di tempat barunya menjadikannya sebagai pusat kegiatan Kaum Muslim di Afrika Selatan sampai wafat pada tanggal 23 Mei 1699 dalam usia 73 tahun dan dikuburkan di suatu tempat bernama Faure.
Sedikit sekali sejarah Sunda yang mengisahkan Pangeran Arya Purbaya dari kesultanan Banten dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda. Pangeran Arya Purbaya berusaha mempertahankan kebesaran Kesultanan Banten dari pihak pedagang VOC yang berusaha ingin memonopoli perdagangan bahkan berlanjut pada penjajahan. Pangeran Arya Purbaya adalah salah satu putra dari istri-istri Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682), yang menjadi penerus mahkota kesultanan yaitu Pangeran Gusti atau Sultan Abu Nasr Abdul Kahar (1672-1687) yang kelak disebut Sultan Haji. Tanggal 8 Desember 1682 Kacarabuan, Angke dan Tangerang dikuasai VOC, Sultan Ageng bertahan di Kademangan, tetapi pertahanan akhirnya jatuh juga setelah terjadi pertempuran sengit, pasukan Kademangan yang dipimpin P. Arya Wangsadiraja akhirnya mengungsi ke Pedalaman Banten yaitu Ciapus, Pagutan dan Jasinga.
Pada tanggal 28 Desember 1682, Pasukan Jongker, Michele dan Tack mendesak Keraton Tirtayasa, Sultan Ageng berhasil menyelamatkan diri dengan terlebih dahulu Pangeran Purbaya membakar Keraton Tirtayasa untuk menyelamatkan Ayahnya, Sultan Ageng, Pangeran Kulon, Syeikh Yusuf Makassar mengungsi ke Sajira dan Muncang. Sementara Pangeran Arya Purbaya dan pasukannya bergerak ke Parijan pedalaman Banten hingga ke Jasinga karena Pasukan Arya Wangsadireja berlebih dahulu mengungsi ke Jasinga. Sultan Haji mengirimkan utusan ke Sajira untuk berdamai dan akhirnya pada tanggal 14 Maret 1683 Sultan Ageng Tirtayasa dan Pangeran Arya Purbaya mendatangi Surosowan. Akibat akal licik VOC dan Sultan Haji, akhirnya Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap dan dibawa ke Batavia untuk diadili. Pangeran Purbaya berhasil meloloskan diri. Pangeran Perbaya, Pangeran Kulon dan Syeikh Yusuf Makassar meneruskan perjuangan melawan Kompeni. Syeikh Yusuf bersama Pangeran Kidul dan pasukan yang berjumlah 5000 orang, 1000 diantaranya Melayu, Bugis, Makassar yang siap mati bersama gurunya bergerak menuju Muncang terus ke Lawang Taji (Jasinga) menyusuri Sungai Cidurian kemudian ke Cikaniki terus ke Ciaruteun melalui Cisarua dan Jampang kemudian meneruskan ke Sukapura dan Mandala dengan tujuan Cirebon.
Pangeran Purbaya kemudian menyusul bersama Pangeran Kulon dan Pangeran Sake beserta pasukannya hingga ke Galunggung dan Singaparna (Tasikmalaya). pelarian Pangerang purbaya dengan kerabatnya Pangeran Saleh (Sake) beserta 800 pejuang Banten melakukan gerilya di wilayah Cikalong Bogor Selatan, dengan meminta bantuan untung surapati Kompeni berusaha membujuk Pangeran Purbaya untuk melakukan perundingan yang selanjutnya penangkapan dengan tipu daya, selain mengutus untung surapati kompeni memerintahkan Kapten Kuffeler untuk menangkap Pangeran Purbaya, ketika melihat perlakuan kasar Kuffeler terhadap Pangeran Purbaya seketika itu juga untung Surapati berbalik membela Pangeran Purbaya dan menyerang balik Kompeni Belanda sehingga 20 orang tewas terbunuh, selanjutnya perjuangan dan pertempuran berlajut hingga sampai ke daerah periangan dan kertasura, dalam pertempuran di Cikalong pada tanggal 28 januari 1684 Pangeran Mohammad Saleh (Pangeran Sake) tertangkap di sukapura, Pada tanggal 25 September 1683 pasukan Pangeran Kidul dan Pasukan Banten dan Makassar gugur di Citanduy (Padalarang).
Pangeran Purbaya sempat mempertahankan pedalaman Banten dan membuat garis batas di Cikeas (antara Banten dan Batavia), Pangeran Purbaya mempertahankan Banten Selatan. Ia meneruskan perjuangan Syeikh Yusuf Makassar dan akhirnya Pangeran Purbaya bersama Pangeran Kulon dan Pangeran Sake gugur dalam pemberontakan di Galunggung (Tasikmalaya).
Sekelumit tentang Pangeran Purbaya dalam sejarah autentik sangat berjasa dalam mempertahankan Banten dan dipercaya oleh Sultan Ageng Tirtayasa, Syeikh Yusuf Makassar bahkan pasukan koalisi Makassar, Bugis dan Melayu. Pangeran Purbaya yang kalau bertempur diilustrasikan karakternya berubah menjadi Singa yang bertempur dan mencakar cadas hingga berdarah (diabadikan menjadi nama desa Singabraja, di Daerah Kec. Tenjo, Bogor). Kemudian ia melanjutkan perjalanan ke Bali (Singa raja) dalam syiar Islam.
Tapi akhirnya memutuskan untuk kembali ke Jasinga, tapi ditengah perjalanan Pangeran Purbaya mengalami sakit (parna) hingga daerah tersebut diberi nama Singaparna, hingga akhirnya wafat di Gunung Galunggung. Pangeran Purbaya sangat berjasa alam mempertahankan Banten terutama Banten Selatan.
Pangeran Purbaya berkoalisi dengan Untung Suropati (Jawa Timur) ia pun membatasi untuk melawan Belanda dengan garis antara orang-orang Mataram, Batavia dan Sunda yang ada di Cikeas. Itulah jasa Pangeran Arya Purbaya atau Perbaya atau Purabaya yang tidak bisa kita lupakan dalam menentang penjajahan Belanda. Demikian jejak perjuangan Syeikh Yusuf Tajul Khalwati dan Pangerang Purbaya beserta keturunan Kesultanan Banten lainnya dan pejuang – pejuang Fi Sabilillah yang patut menjadi contoh suri Tauladan bagi anak cucu khususnya masyarakat Banten.
2.    KYAI HAJI TUBAGUS MUSTAFA DAN TUBAGUS BUANG
Dalam kurun waktu masa kesultanan Sultan Zainul Arifin, di dalam kraton pun terjadi keributan dan kekacauan pemerintahan. Sultan sangat dipengaruhi permaisurinya, Ratu Syarifah Fatimah, Pangeran Syarif Abdullah anak Ratu Fatimah dari suaminya yang terdahulu, diusulkan menjadi Putra Mahkota. karena desakan Ratu Fatimah pula, Pangeran Gusti yang seharusnya menjadi putra makota disuruh pergi ke Batavia, yang kemudian atas suruhan Ratu Fatimah ditengah perjalanan ia ditangkap tentara kompeni dan diasingkan ke Sailan. (1747), atas pertujuan kompeni akhirnya Pangeran Syarif Abdullah dinobatkan menjadi Putra Mahkota, dan untuk jasa-jasa kompeni ini, Ratu Fatimah menghadiahkan sebidang tanah di daerah cisadane dan hak separuh penghasilan  tambang emas di Tulang Bawang, Lampung, kepada Kompeni. Karena finah istrinya pula akhirnya Sultan Zainal Arifin di tangkap kompeni, dituduh gila, dan diasingkan ke Ambon sampai meninggal. Sebagai penggantinya diangkatlah Pangeran Syarif abdullah dengan gelar Sultan Syarifuddin Ratu Wakil menjadi Sultan Banten, tahun 1750, tapi sebenarnya, Ratu Fatimah yang memegang kuasa. Kecurangan yang dilakukan Ratu Fatimah ini bagi rakyat dan sebagian pembesar negeri merupakan suatu penghinaan besar dan penghianatan yang sudah tidak bisa diampuni lagi, sehingga rakyat pun mengadakan perlawanan bersenjata. Dipimpin oleh Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang, mereka menyerbu Surosowan. Menurut sejarah Banten, Tubagus Buang adalah kerabat Sultan Banten yang berontak terhadap VOC karena telah melakukan intervensi terhadap kesultanan Banten. Tubagus Buang berjuang bersama Kyai Tapa yang tak lain adalah kerabatnya, pemberontakan Tubagus Buang dan Kyai Tapa berawal dari rakyat Banten yang dikhianati oleh Ratu Syarifah yang bersekutu dengan VOC. Ratu Syarifah adalah istri dari Sultan Muhammad Syifa Zainul Arifin (1733-1750). Sebelumnya Ratu Syarifah adalah seorang janda dari pegawai VOC di Batavia, Diangkatnya Pangeran Syarif Abdullah sebagai Sultan Banten atas persetujuan Belanda, hal ini membuat kemarahan bagi kerabat kesultanan dan rakyat Banten yang tidak setuju dengan pengangkatan sultan baru.
Kiai Tapa dan pengikutnya mengajukan Ratu Bagus Buang untuk menggantikan Sultan Muhammad Syifa Zainul Arifin, secara kekerabatan Tubagus Buang adalah keponakan dari Sultan tapi mendapat rintangan dari Kompeni yang turut serta dalam urusan Sultan Banten. Hal ini membuat rakyat marah dan melakukan pemberontakan. Ia beserta Tubagus Angke dan pengikutnya mengundurkan diri ke pedalaman, kemudian ke daerah Jasinga dan Ciampea. Pasukan Banten menyerang pasukan Belanda yang bertahan di sana.
Belanda mengalami kekalahan dan dengan bantuan pasukan dari Tangerang kemudian menyerang pasukan-pasukan Kiai Tapa dan Ratu Bagus Buang. Pasukan-pasukan Banten berkumpul dan bertahan di daerah Cibeteung dekat Kahuripan dan Belanda kalah lagi. Kemudian Kiai Tapa maju ke Gunung Munara, menyeberang Kali Cisadane dekat Parung batang kemudian menuju Batavia melalui Bogor dan Tangerang, kompeni di dalam benteng mulai panik mendengar kabar penyerangan dari pasukan Banten ini lalu memperkuat pertahanannya di Tangerang dan Tanah Abang.
Kiai Tapa berbelok ke selatan menyerang pertahanan Belanda di Jampang, dalam penyerangan tersebut pasukan perlawanan di bagi dua, sebagian langsung menyerang Kota Sorosowan dan sebagian lagi mencegat bantuan pasukan Kompeni dari Batavia. Ratu Bagus Buang dengan pasukan yang besar menyerbu dari arah barat, yang memaksa pasukan Ratu Fatimah hanya mampu bertahan di Benteng Sajam, sedangkan pasukan KI Tapa yang mencegat pasukan kompeni dari Batavia, melalui pertempuran hebat, mereka dapat menghancurkan pasukan kompeni. Bahkan apabila tidak segera datang pasukan baru dari negeri Belanda, Batavia pun mungkin dapat direbut pasukan Ki Tapa. Karena pasukan bantuan dari Negeri Belanda pulalah akhirnya pasukan pejuang dapat dipukul mundur. demikian juga pengepungan Surosowan dapat dibuyarkan.
Bersamaan dengan peristiwa ini, VOC dengan Gubernur Jenderal baru Jacob Mossel, sedang mengalami kemunduran dalam kemampuan militernya. Pada bulan November 1750, suatu pasukan gabungan kesultanan Banten dan VOC yang berjumlah 800 orang, dipukul mundur oleh kaum pemberontak yang jumlahnya jauh lebih besar (diperkirakan 7000 orang). Sejumlah 30 orang opsir dan prajurit bule terbunuh mati dalam pertempuran tersebut. Pasukan VOC masih bisa mempertahankan bentengnya, tapi sebagian besar wilayah Banten jatuh ketangan musuh. Pemberontakan lalu merembet sampai perbatasan Batavia yang membuat penduduk kota besar VOC ini ketar-ketir karena merasa takut akan datangnya pasukan Islam yang katanya akan melakukan pembunuhan besar-besaran warga Eropah.
Rupanya pimpinan VOC di Batavia melihat bahwa kuatnya kaum pemberontak ini karena tidak adilnya pimpinan istana Banten.Untuk memenangkan Rakyat Banten, Gubernur Jendral Kompeni yang baru, Mossel, segera memerintahkan wakilnya di Banten untuk segera menangkap Ratu Syarifah Fatimah dan Sultan Syarifuddin. Ratu Sarifa dan kemenakannya tersebut yang lalu dibuang kepulau Edam (jajaran pulau 1000). Ratu Fatimah selanjutnya diasingkan ke Saparua dan Sultan Syarifuddin ke Banda. Belanda mengangkat Pangeran Arya Adisantika, adik Sultan Zainul Arifin, menjadi wakil raja dan mengembalikan Pangeran Gusti dari tempat pengasingannya, walaupun kompeni telah mengambalikan Pangeran Gusti dan bahkan menangkap Ratu Fatimah, namun perlawanan rakyat Banten tidak mereda. Barisan rakyat di pimpin oleh Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang sering mengadakan serangan mendadak sekitar Ibukota Surosowan.
Dengan kemampuan maksimal, pada tahun 1751 dikirimlah sebanyak 1000 orang serdadu bule dan 350 serdadu pribumi (sebagian besar orang Madura) untuk menumpas habis pemberontakan. Serbuan ke Banten ini mengakibatkan pasukan pemberontak meninggalkan kota dan bergerilya diluar kota. Mereka melakukan pembakaran rumah-rumah dan perkebunan orang Eropah dan melakukan penyerangan pos-pos pasukan VOC. Namun seperti biasa, pertahanan kaum pemberontakpun bisa dipatahkan oleh VOC.
Kubu pertahanan utamanya bisa direbut pada bulan September 1751. Kiai Tapa dan Ratu Bagus Buang berhasil menyelamatkan diri,  pasukan pejuang kemudian menyingkir ke Gunung Munara di Ciampea, Bogor. Melalui serangan yang berkali-kali barulah Gunung Munara dapat dikuasai kompeni. Sehingga Ki Tapa dan pasukannya pindah ke daerah Bogor dan Banten Selatan. Sementara di Surosowan, kompeni mengangkat Pangeran Arya Adi Santika menjadi Sultan Banten dengan gelar Sultan Abul Ma’ali Muhammad Wasi “Zainul Alimin” pada tahun 1572, dan Pangeran Gusti ditetapkan sebagai Putra Mahkota. Tapi dengan pengangkatan itu Sultan Abul Ma’ali harus menandatangani perjajian dengan kompeni yang isinya sebagai berikut :
1.    Banten di bawah kuasa penuh Kompeni Belanda walaupun pemerintah tetap ditangan Sulatan.
2.    Sultan akan mengirim utusan ke Batavia setiap tahun sampai membawa upeti lada yang jumlahnya ditetapkan kompeni.
3.    Hanya Kompeni Belanda yang boleh mendirikan Benteng di Banten.
4.    Banten hanya boleh menjual kopi dan tebu kepada kompeni saja.
5.    Sejalan dengan bunyi pasal 4, banyaknya produksi kopi dan tebu di Banten haruslah ditentukan kompeni.
Mengetahui tetang pasal-pasal perjajian kompeni ini, beberapa Pangeran pembesar keraton lainnya menjadi gusar, demikian juga dengan Pangeran Gusti. Rakyat kembali mengangkat senjata mengadakan perlawanan, dan kembali mengadakan hubungan dengan Ki Tapa dan ratu Bagus Buang dipedalaman. Pasukan penentang mengadakan serangan serentak ke kota Surosowan Ki Tapa, Ratu Bagus Buang dan pasukannya menyerang dari luar sedangkan rakyat yang dipimpin Pangeran dan ponggawa Banten mengadakan pengacauan di dalam kota. Terjadilah pertempuran hebat di daerah Caringin dan Kota Surosowan, dengan susah payah Belanda akhirnya berhasil melumpuhkan serangan-serangan tersebut. akhirnya dengan beberapa ratus pengikutnya Ki Tapa berencana pergi ke Jawa Timur untuk bergabung dengan para pejuang disana. Kiai Tapa dan pasukannya menyerang setiap daerah yang dilaluinya dan selalu menang. Tanggal 21 Agustus 1753, Kiai Tapa dan pasukannya melewati Bandung, kemudian menuju Parakanmuncang (dengan bantuan Tumenggung Wiratanubaja).
Disini pasukan Belanda menghadangnya namun dapat dikalahkan, Kiai Tapa dan pasukannya terus maju hingga mereka kekurangan bahan-bahan dan prajurit-prajuritnya mengalami penderitaan,sehingga memaksakannya mengundurkan diri ke arah pedalaman Gunung Galunggung dan tidak diketahui oleh Belanda.Akhirnya Kiai Tapa menerobos ke arah timur untuk bergabung dengan pergerakan-pergerakan anti Belanda di daerah Banyumas, kabarnya tidak terdengar lagi, kemungkinan besar Kiai Tapa di zaman Pangeran Diponegoro bergerak, tentunya dalam keadaan lanjut usia.
Namanya diabadikan sebagai nama jalan di daerah Tomang, Jakarta. Nama asli Kyai Tapa (Kyai Mustafa) adalah Thung Siang Toh lahir di Tiongkok. alias Pangeran Mustofa Abdul Ha, menurut salah satu sumber dari keluarga Kyai Tubagus Mustafa (Kyai Tapa) adalah saudara seayah dari Sultan Muhammad Syifa Zainul Arifin,  sedangkan Ratu Bagus Buang sampai 1757 masih tetap mengadakan perlawanan di Banten. Karena adanya perlawanan rakyat itu pulalah, enam bulan kemudian, Sultan Abul Ma’ali Muhammad Wasi Zainul Alamin menyerahkan kekuasaannya kepada Pangeran Gusti. Maka pada tahun 1753 Pangeran Gusti dinobatkan menjadi Sultan dengan Gelar Abu’l Nasr Muhammad Arif Zainul Asiqin. makam Tubagus Buang berada di kompleks pemakaman Pagutan Jasinga. Ada pula yang menunjukkan makamnya terletak di pemakaman Kampung Kandang (kurang lebih 500 meter dari Pagutan).